Sabtu, 12 Maret 2016

Why Love is So Blind?


Why Love is So Blind?



Title                 : Why Love is So Blid?
Author             : Nawang Sasi
Cast                 : Park Jimin (BTS), Cho Miwa(OC) and other member BTS
Genre              : Life, Romance, Sad
Leght               : Chapter 2
Rate                 : 16
Summary         : ‘Bersama denganmu memang ide yang bagus, tapi aku harus siap   kehilanganmu juga.’
NB                  : Fanfict chapter ini nggak bakal nyambung kalau belum baca chapter sebelumnya. Jadi yang pingin nggak bingung bacanya, baca chapter sebelumnya ya....

~ Happy Reading ~
1... 2... 3... Action!

Setelah menutup toko buku, Miwa menyiapkan makan malam. Hanya dengan beberapa menit saja, makanan di atas meja telah ludes oleh perut lapar Jimin dan Miwa. Laki-laki itu merapikan meja makan dan mencuci piring, padahal kalau di rumah dia malas sekali. Selesai mencuci semua piring, langsung tidur sepertinya bukan ide yang buruk.

            “Miwa-sshi.” Panggil Jimin berbisik. Dia tidak bisa tidur. Laki-laki itu menoleh pada Miwa yang juga masih terjaga. Gadis itu mengerjap-ngerjapkan matanya.

“Miwa-sshi, apa yang kau lakukan saat tidak bisa tidur?” Tanya Jimin basa-basi.

“Aku tidak melakukan apapun. Aku hanya membayangkan sesuatu.”

“Membayangkan seperti apa?” Tanya laki-laki itu lagi.

“Membayangkan bagaimana wajah orang-orang yang berbicara denganku, membayangkan bagaimana ramainya toko. Membayangkan segala hal yang ingin ku tahu.” Jawab Miwa menoleh kepada Jimin. Dia memang tidak dapat melihat laki-laki itu, tapi dia dapat membayangkan Jimin seperti apa.

“Kau pasti orang yang sangat baik. Kau juga sangat lucu. Dari suaramu, kau adalah orang yang sangat energik. Kau juga menyenangkan.” Ungkap Miwa membuat Jimin senyum-senyum sendiri mendengar dirinya di puji. “Kau bilang kau ingin jadi penyanyi. Coba, aku ingin mendengar kau menyanyi.” Pinta Miwa.

“Ya, tentu saja. Menyanyi lagu apa?” Tanya Jimin menyanggupi.

“Lagu yang sesuai dengan suasana hatimu, lagu yang kau sukai.”

“Lagu apa ya?” Jimin berpikir, mencari lagu yang tepat. “Ah, aku tahu!” Pekiknya. “Karena kau sudah memujiku, aku juga akan memujimu dengan laguku. Aku sangat suka lagu ini.”

Jimin mengambil suara dan siap bernyanyi. Tapi Miwa tertawa sebelum dia bernanyi. “Jangan tertawa! Aku akan mulai!”

‘You’re beautiful...’
‘cham gwaenchanhji anhni uli dul’
‘maennal ileohge tto’
‘sangsang-eul hae you be with me with me’

Miwa bertepuk tangan keras, dia menikmati lagunya meskipun hanya sebentar.

“Kupikir kau sangat cocok menjadi penyanyi.” Miwa memberikan jempolnya. Jimin tersenyum lebar.

“Ya, sepertinya begitu. Aku pasti akan sangat terkenal.” Ucapnya dengan percaya diri. “Hey, ayo kita saling mengungkapkan harapan masing-masing!” Cetusnya kemudian. Miwa mengangguk setuju.

“Dimulai dariku.” Jimin mengacungkan jarinya. “Harapanku adalah, agar aku dapat melakukan apapun yang kuinginkan. Kuharap Appa dan Eomma mengerti itu. Kuharap juga, do’a dari temanku yang sekarang berada di sisiku terwujud.”

“Gomawo. Sekarang giliranku.”

“Kuharap aku bisa berguna bagi orang lain. Ku harap semua orang yang kusayangi selalu berbahagia. Dan kuharap juga impian Jimin-sshi terwujud.” Miwa mengangguk mengiyakan harapannya sendiri.

“Kenapa tidak meminta harapan yang lain? Maksutku untuk dirimu sendiri. Apa yang sedang kau butuhkan sekarang.” Sahut Jimin.

“Aku tidak ingin apapun selain itu. Jika aku mendapatkan dua mata dari seseorang, kuharap aku juga masih bisa berbagi dengan orang lain. Tidak perduli meskipun aku hanya mendapat satu, itu akan lebih baik kalau orang lain yang bernasib sama sepertku juga dapat merasakan kebahagiaan yang sedang ku rasakan.”

“Kau sangat baik. Kau sangat daebak!!” Jimin memberi penghargaan dengan bertepuk tangan. Miwa tersenyum senang.

“Lalu, apa yang kau inginkan lagi, untuk saat ini?” Tanya Jimin menoleh pada Miwa.

“Untuk saat ini?” Miwa diam sejenak. Tiba-tiba gadis itu menutup wajahnya dengan selimut karena malu.

“Wae? Ucapkan saja. Kalau itu berhubungan denganku, akan kulakukan.” Sanggup laki-laki itu dengan anggukan mantap.

“Aku rindu nenek. Setiap malam, nenek selalu memelukku dan menepuk punggungku agar aku bisa tidur. Tidak mungkinkan Jimin-sshi melakukannya.” Ucapnya dengan malu-malu. Membuat Jimin jadi ikut malu. Bola mata laki-laki itu menatap Miwa lewat ekor matanya.

“Ku pikir kalau hanya bergandengan saja tidak apa-apa. Tapi itu tidak setara memang.” Kata Jimin mengalihkan pandangannya. Beberapa saat gadis itu tidak berkata apa-apa dan tiba-tiba Jimin terkejut ketika Miwa menggenggam erat tangan kanannya yang tersembunyi di balik selimut.

“Aku takut saat malam hari, karena aku sendirian. Aku tidak ingin sendirian.” Kata gadis itu pelan, namun Jimin masih dapat mendengarnya. Yah, paling tidak akhirnya Miwa mengatakan apa yang diinginkannya.

“Kau tidak sendirian, ada aku.” Jimin memiringkan posisi badannya menghadap Miwa dan menggenggam tangan gadis itu dengan kedua tangannya.  Miwa ikut merubah posisinya mengahadap Jimin.

“Gomawo.” Gadis itu tertidur setelah itu.Tenangkan hatimu Park Jimin! Seru Jimin dalam hati. Sebenarnya dia gugup sekali. Tapi bertingkah sok keren sepertinya sangat dibutuhkan untuk saat ini.
Jimin menatap wajah damai Miwa yang sedang tidur.  Dia hampir tidak bisa menahan dirinya untuk tindak menyentuh wajah manis gadis itu. Tangannya melayang di atas pipi Miwa, tapi tidak lebih dari itu.

&&&&

Jimin mengerjapkan matanya saat cahaya matahari mulai memasuki cela-cela jendela kamar. Laki-laki itu menguap, dia berusaha mengangkat tangan kanannya untuk mengusap wajahnya, tapi tangannya terasa berat dan ada yang menariknya. Jimin sedikit menoleh dan langsung mendapati pelipisnya bersentuhan dengan pelipis orang lain. Gadis itu menyembunyikan wajahnya di belakang telinganya. Jimin ingin menjerit, tapi dia mengurungkan niatnya dan lebih memilih menjerit tanpa suara.

“Miwa-sshi. Miwa-sshi.” Gadis itu tidur nyenyak sekali. Apa yang harus dilakukannya sekarang?

Jimin menjauhkan kepalanya dari kepala gadis itu, tangan gadis itu masih tertaut dengan tangan Jimin. Bukan gadis itu yang menggenggamnya, tapi Jimin sendiri. Laki-laki itu menatap kembali wajah Miwa dengan sedih.

“Kuharap kau dapat melihatku.” Lirihnya lalu memeluk gadis itu dan menepuk punggungnya pelan.

&&&&

            Hari minggu biasanya toko masih buka. Karena Jimin mengajak Miwa jalan-jalan pagi, akhirnya toko ditutup sementara.

“Jimin-sshi, di sini banyak orang. Aku tidak mau menabrak mereka.” Kata Miwa setengah kebingungan dengan suara-suara di sekelilingnya.

“Di sini kita bisa olah raga dengan nyaman. Kita akan olah raga.” Jimin menarik tangan Miwa menuju bangku terdekat di bawah pohon dan mendudukkan gadis itu di sana.

“Jimin-sshi, apa yang akan kita lakukan?” Tanya Miwa.

Jimin sedikit melakukan peregangan tangan. “Kau bisa melakukan pemanasankan?” Tanyanya kemudian.

“Iya, aku bisa.” Miwa pelan-pelan berdiri dan melakukan pemanasan sesuai apa yang diketahuinya.

“Itu bagus sekali.” Puji Jimin. Laki-laki itu membantunya agar tidak terjatuh ketika melakukan pemanasan.

            Setelah itu mereka melakukan lari pagi. Jimin menggandeng tangan Miwa supaya gadis itu dapat dengan tenang berlari tanpa takut terjatuh ataupun menabrak orang lain.

“Lelahnya.” Jimin menghempaskan badannya ke rumput di samping bangku kayu awal ketika mereka melakukan pemanasan. Rambut dan bajunya basah karena keringat. Laki-laki itu mengusap lehernya yang berkeringat dengan handuk.

“Sini, duduklah dan luruskan kakimu.” Jimin menarik tangan Miwa untuk duduk.

“Olah raga sangat menyenangkan. Aku jarang sekali olah raga di luar rumah. Apa aku telihat gendut?” Tanya Miwa setelah pengakuannya. Gendut? Gadis itu bahkan sangat langsing.

“Tidak sama sekali.” Jimin menggeleng. Laki-laki itu mengamati keringat yang mengalir di kening gadis itu. Jimin mengambil handuk milik Miwa yang sedari tadi hanya dipegangnya. Laki-laki itu mengusap kening Miwa perlahan. Gadis itu berjengit.

“Kenapa?” Tanya Miwa. Jimin mengerjapkan mata dan menurunkan tangannya. Laki-laki itu menunduk malu.

“Keringat.” Katanya. Gadis itu ber’oh’ lalu tersenyum.

“Terima kasih.”

Jimin tersenyum ketika melihat Miwa juga tersenyum. Tapi senyumnya memudar saat melihat dua orang yang berjalan beberapa meter dari mereka dengan tatapan mencari-cari. Dia sangat mengenalnya dua pria setengah baya itu. Salah satunya adalah pamannya, dan salah satunya adalah supir ayahnya.

“Miwa-sshi, kita harus pergi dari sini.” Jimin menarik tangan Miwa tiba-tiba.

“Ada apa?” Tanya gadis itu bingung. Tanpa menjawab pertanyaan Miwa, laki-laki itu tetap menariknya dan membawanya pergi dari tempat itu sebelum pamannya menyadarinya. Bagaimana dia ada di sini? Appa pasti meminta orang-orang itu untuk mencarinya.

            “Jimin-sshi, ada apa?” Gadis itu terus bertanya setelah Jimin berhasil membawanya pulang ke toko buku dengan mengendap-endap. Jimin mengamati sekeliling. Setelah dirasa aman, barulah dia dapat bernafas lega.

“Bukan apa-apa.” Jawab Jimin. Jatungnya tidak karuan karena takut orang itu menemukannya.

“Apakah mereka penjahat yang kemarin?”  Tanya Miwa lagi.

“Bukan, dia pamanku.” Kata Jimin singkat setelah duduk di salah satu kursi kayu. Tiba-tiba Miwa memukulnya. “Wae? Kenapa memukulku?”

“Kau harusnya menemuinya. Mereka sedang mencarimu.”

“Yang namanya pergi dari rumah itu tidak ada istilahnya tiba-tiba menemui orang yang membuatmu ingin kaburkan? Itu sangat konyol.” Kata Jimin tidak habis pikir.

“Tapi kau tidak bisa selamanya pergi dari rumahmu kan?” Pertanyaan Miwa membuatnya berpikir lagi. Benar juga, tidak mungkin dia terus menerus bersembunyi di rumah gadis ini.

“Kalau begitu, kita menikah dan hidup bersama. Itu ide yang bagus bukan?” Ide bodoh tanpa dasar dari Jimin.

“Apa-apaan itu? Mana bisa begitu?” Protes Miwa. “Mandilah, kita akan membuka toko sebentar lagi!” Perintahnya dengan tangan di pinggang. Membuat Jimin cemberut dan merajuk seperti anak kecil.

“Kenapa? Aku belum mau mandi. Bukankah ideku tadi sangat bagus? Miwa-sshi!”

&&&&

            Malam hari saat toko tutup adalah saat yang paling ditunggu Jimin. Saat pelanggan pergi dan saat dimana dia bisa istirahat setelah melayani pelanggan mereka. Laki-laki itu melepas topinya dan menyisir rambutnya dengan jari-jari. Dia mengamati Miwa yang merapikan buku tidak jauh darinya.

“Jimin-sshi, di mana kau menaruh apel dari Nyonya Shin?” Tanya Miwa tiba-tiba membuat Jimin terlonjak.

“Aku menaruhnya di meja kasir. Aku takut kau mencarinya, jadi kutaruh di situ.”

“Ah, iya. Aku menemukannya, terima kasih.” Miwa berhasil menemukan sekeranjang apel di meja kasir. Jimin berjalan mendekatinya.

“Apa kau pernah menyukai seseorang?” Tanya Jimin tib-tiba dengan topik yang aneh menurut Miwa.

“Aku? Aku tidak tahu.” Miwa menunduk sambil merangkul sekeranjang apel merah segar. “Kalau Jimin-sshi?” Dia balik bertanya. Jimin menggaruk belakang kepalanya, bingung harus mengatakan apa.

“Kalau itu, sebenarnya aku...” Jimin menatap wajah Miwa. Belum sempat meneruskan kalimatnya, tiba-tiba suara keras dari pintu toko membuat mereka berdua terkejut.

“Selamat malam Nyonya dan Tuan! Maaf menganggu kalian!” Seru seorang pria berpakaian jas yang sama tapi dengan keadaan yang berbeda. Kalau kemarin dia  berpakaian rapi dengan wajah yang bersih. Sekarang wajah pria itu terlihat kacau dan babak belur, dua orang di belakangnya juga tidak kalah. Banyak luka lebam di wajah mereka.

“Orang-orang ini datang lagi.” Gumam Jimin waspada dan langsung menarik Miwa kebelakang punggungnya ketika orang-orang itu berjalan mendekat.

“Kau masih di sini?” Tanya pria yang berpangkat bos sambil menarik kain lengannya ke atas. Gaya seperti itu sama sekali tidak membuat Jimin takut. “Tapi beruntung sekali kau masih di sini, kami juga bisa langsung menghabisimu tanpa harus mencarimu.” Lanjut pria itu dengan senyum merendahkan.

“Apa yang mau kalian lakukan?” Jimin mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan toko dan jalan di luar. Sepi sekali.

“Masih bertanya! Tentu saja untuk menghabisimu. Bos sudah memberitahumu. Dasar anak bodoh!”

Jimin tidak tahan dengan kata-kata kasar dari ketiga pria itu. Saat ini sasaran utamanya adalah dirinya. Ini adalah rencana balas dendam.

“Kau tahu, karena kau kita harus berurusan dengan polisi dan mendapat luka ini. Kau harus membayar semuanya!”

“Oke, akan kubayar berapapun kau mau! Kau mau berapa?” Jimin mencari aman dengan mengeluarkan dompet dari saku celananya, tapi pria tua itu justru melempar dompet yang dipegang Jimin. Pria itu menarik kerah leher Jimin.

“Bayarannya adalah, kami akan menggambar luka yang sama seperti yang kami miliki di wajah dan badanmu hingga kau tidak dapat merasakan luka apa yang kau terima.” Baiklah, kata-katanya cukup meyakinkan.

Dengan gerak cepat, pria itu hampir saja mendaratkan tinjunya di wajah Jimin, beruntungnya laki-laki itu dapat menghindar. Jimin mendekat kepada Miwa yang berada dibelakangnya.

“Miwa-sshi, pergilah dan telepon polisi segera!” Bisiknya. Miwa ragu, tapi dia mengangguk mengerti dan mengambil ponsel di sakunya.

Dua pengikut pria tadi berusaha mencegah Miwa, tapi Jimin segera menendang mereka agar mereka menjauh. Dua orang itu jatuh terjungkal. Sial, laki-laki ini kuat juga. Pria berjas itu merengsek maju dan berusaha memukul wajah Jimin berkali-kali. Tapi berkali-kali juga Jimin dapat menghindar. Jimin antara sibuk menyelamatkan hidupnya dan menghindarkan Miwa dari penjahat-penjahat itu.

Jimin berhasil mendaratkan beberapa pukulan dan membuat orang-orang itu terjatuh, tapi tidak sedikit juga luka yang di dapatnya. Giginya berdarah karena tinjuan dari pria pendek berotot.

Miwa tidak dapat pergi dari tempat itu dengan mudah karena suara disekelilingnya yang kacau balau. Pria kerempeng menjambak rambut panjangnya hingga gadis itu menjerit kesakitan.

“Miwa-sshi!” Jimin berlari kepada Miwa dan langsung menghempaskan pria kerempeng itu kedinding. Menabrak rak gantung berisi buku. Jimin menarik Miwa kedekatnya, nafas laki-laki itu tersenggal-senggal karena kelelahan. Kenapa polisi tidak segera datang?

Kesempatan di mana Jimin lengah dan tidak memperdulikan dua orang pria tadi menjadi waktu yang tepat untuk melaksanakan taktik licik mereka. Bos dari geng itu menyambar botol kaca hiasan toko dan memecahkan botol itu hingga tertinggal bagian tajam bergerigi di ujung botol.

“Aku akan membunuh kalian!” Teriak pria itu dengan ganas berlari kearah mereka dengan botol teracung. Jimin dan Miwa berhasil menghindar, tapi pria berotot menghadangnya.  Jimin menendang pria itu, dan pada saat itu bos mereka memanfaatkan waktu sempit itu untuk mengenai botol itu kepada sasaran.

Pria itu berhasil menghujamkan ujung pecahan botol tepat di punggung Jimin. Laki-laki itu berteriak kesakitan, punggungnya perih sekali. Perutnya seakan di kocok. Tapi laki-laki muda itu sama sekali tidak melepaskan Miwa dari dekapannya. Hanya itu satu-satunya cara menyelamatkan gadis ini.

Jimin jatuh tersungkur ke lantai, meninggalkan Miwa yang begitu kebingungan dan menangis. Dua pria berotot dan pria kerempeng menarik gadis itu. Sebelum bos dua orang tadi berhasil melukai Miwa, Jimin berhasil berdiri lagi dan melawan dengan sisa tenaganya.

“Apa yang kalian lakukan?! Jangan penah sedikitpun mendekatinya!”

“Kau ini ternyata benar-benar ingin mati?!” Si pria berotot menendang perut Jimin dengan kakinya, hingga laki-laki itu terjatuh ke lantai dengan darahnya yang semakin banyak terbuang. Pria berjas kembali bersiap dengan botolnya dan menusuk kembali perut laki-laki muda itu untuk beberapa kali.

“Jimin-sshi!” Miwa berteriak histeris ketika suara Jimin tak lagi terdengar. Suara laki-laki itu bahkan tidak dapat keluar karena menahan rasa sakit. Dan pada saat itu suara sirine polisi terdengar di depan toko dengan 7 polisi berseragam lengkap masuk ke dalam. Membekuk 3 penjahat yang sudah masuk sebagai daftar buronan mereka. Kejadian terjadi begitu cepat.

“Jimin-sshi, Jimin-sshi. Kau tidak apa-apa? Jimin-sshi!” Miwa dengan tertatih-tatih mengampiri Jimin yang jatuh terbaring di lantai. Gadis itu berhasil memeluk laki-laki itu.

“Jimin-sshi.” Tangan Miwa menyentuh pipi Jimin yang lebam.

“Aku tidak apa-apa. Semua baik-baik saja sekarang.” Lirihnya dengan terbata-bata. Rasa sakit dan nyeri bahkan sampai tidak terasa karena terlalu banyak luka yang diterimanya. 3 orang penjahat itu tidak berbohong. Tapi setidaknya, dia dapat melindungi Miwa apapaun yang terjadi.

“Kau tidak baik-baik saja.” Miwa menangis. Jimin menyentuh tangan Miwa yang berada di pipinya.

“Miwa-sshi.” Panggil Jimin pelan. Suara sirine mobil polisi tergantikan dengan suara dari sirine mobil ambulans. Warga juga banyak berkerumun menyaksikan keramian pada malam hari kala itu.

“Kalau aku bisa bangun, aku ingin kita benar-benar bisa menikah.” Laki-laki itu tersenyum. “Aku akan melindungimu. Meskipun usiaku belum 25 tahun, aku tidak perduli. Aku juga akan menjadi penyanyi yang menyanyikanmu banyak lagu.” Dia berusaha tertawa, tapi rasa nyeri membuatnya bungkam hingga air matanya ikut mengalir.

“Jimin-sshi, terima kasih.” Kata Miwa, pundak gadis itu naik turun. Jimin mengecup pipi Miwa sebelum dia akhirnya benar-benar tidak sadarkan diri dan melihat wajah gadis yang membuatnya jatuh hati dan begitu teduh meskipun sedang menangis untuk terakhir kali.

&&&&

            “Jimin-ah!!! Jimin-aah!!”
Suara euphoria dan badai teriakan begitu membahana di seluruh studion besar itu. Jutaan penonton berdatanganan dari penjuru dunia hanya demi melihat penampilan ke 7 laki-laki menawan idola mereka.

“Jimin-sshi! Bagunlah, lihatlah itu!” Seorang dengan rambut dicat oranye dengan pesona 4D dan berusia tidak jauh darinya itu menepuk pundaknya berkali-kali. Membangunkannya dari mimpi.

“Tae Hyung-Hyung, Berhentilah mengangguku!” Laki-laki bermarga Park itu kembali tertidur.

“Kenapa kau jadi tidak asyik setelah bangun tidur? Bangunlah!” Tae Hyung menggoyang-goyangkan kursi yang diduduki Park Jimin hingga kursi itu hampir jatuh. Jimin melompat seketika sedangkan dengan jahatnya Tae Hyung yang juga sering dipanggil V itu tertawa-tawa.

“Jimin-sshi, kau menangis?” Min Yoongi alias Suga yang kebetulan lewat melihat kejanggalan dari raut wajah Jimin. Sontak Jimin mengusap matanya.

“Kau habis bermimpi apa?” Rap Monster dengan nama asli Kim Namjoon itu ikut bergabung dan berjongkok di depan Jimin.

“Aku juga ingin mendengarnya!” Kim Seok Jin alias Jin dan Jeon Jeong Guk alias Jung Kook berlari kearah kerumanan member BTS itu.

“Aku tidak tahu aku sedang bermimpi apa. Yang jelas aku sedih sekali.” Jimin mengusap matanya yang semakin banyak mengeluarkan air. Dia menangis lagi.

“Ayolah jangan menangis! Ceritakan pada kami.” Seok Jin mengusap punggung Jimin dengan prihatin. 

Teriakan dari seseorang dibelakang mereka membuat cerita yang sangat menarik itu terhenti.

“Kalian semua, perkenalkan! Kita ketambahan asisten baru! Perkenalkan namamu.” Pria setengah baya yang tidak lain dan tidak bukan adalah Manager kesayangan mereka. Manager itu menepuk pundak seseorang yang berdiri di sebelahnya. Orang yang berdiri di samping manager tersenyum seraya memperkenalkan dirinya.

“Perkenalkan, namaku Cho-“

Belum selesai memperkenalkan diri, laki-laki bebadan macho itu sudah menyahut tidak karuan.

“Ya Tuhan, Cho Miwa! Miwa-sshi!”

Gadis itu terkejut ketika laki-laki itu begitu saja menyebut namanya.

“Maaf, benar sekali namaku Cho Miwa. Senang berkenalan dengan kalian!”

“Wah, bagaimana Hyung tahu namanya?” Jung Kook bahkan hampir tidak percaya.

“Ceritanya panjang sekali. Kau tidak akan mempercayainya.” Jimin tersenyum menatap gadis berambut panjang yang juga menoleh padanya dengan senyum manis.

~ FIN~

            Mianhae, yang baca ini pasti langsung lempar laptop, komputer, tablet, dan hape masing-masing. Tapi author sebenernya nggak mau endingnya kayak gini. Sebenernya ada versi lainnya. Cuman endingnya sedih gitu. Jadi lebih baik gini aja. Nggak ada yang harus mati, pergi atau terluka. #eaaaa. Tolong saran dan coment-nya untuk fanfict yang super gereget. Geregetin maksutnya. Hamsahamida!

0 komentar:

Posting Komentar