Why Love is So Blind?
Title : Why Love is So Blid?
Author : Nawang Sasi
Cast : Park Jimin (BTS), Cho Miwa(OC) and other member BTS
Genre : Life, Romance, Sad
Leght : Chapter 2
Rate :
16
Summary : ‘Bersama
denganmu memang ide yang bagus, tapi aku harus siap kehilanganmu juga.’
NB : Fanfict
chapter ini nggak bakal nyambung kalau belum baca chapter sebelumnya. Jadi yang
pingin nggak bingung bacanya, baca chapter sebelumnya ya....
~ Happy Reading ~
1... 2... 3... Action!
Setelah
menutup toko buku, Miwa menyiapkan makan malam. Hanya dengan beberapa menit
saja, makanan di atas meja telah ludes oleh perut lapar Jimin dan Miwa.
Laki-laki itu merapikan meja makan dan mencuci piring, padahal kalau di rumah
dia malas sekali. Selesai mencuci semua piring, langsung tidur sepertinya bukan
ide yang buruk.
“Miwa-sshi.”
Panggil Jimin berbisik. Dia tidak bisa tidur. Laki-laki itu menoleh pada Miwa
yang juga masih terjaga. Gadis itu mengerjap-ngerjapkan matanya.
“Miwa-sshi, apa yang kau lakukan
saat tidak bisa tidur?” Tanya Jimin basa-basi.
“Aku tidak melakukan apapun. Aku
hanya membayangkan sesuatu.”
“Membayangkan seperti apa?” Tanya
laki-laki itu lagi.
“Membayangkan bagaimana wajah
orang-orang yang berbicara denganku, membayangkan bagaimana ramainya toko.
Membayangkan segala hal yang ingin ku tahu.” Jawab Miwa menoleh kepada Jimin.
Dia memang tidak dapat melihat laki-laki itu, tapi dia dapat membayangkan Jimin
seperti apa.
“Kau pasti orang yang sangat baik.
Kau juga sangat lucu. Dari suaramu, kau adalah orang yang sangat energik. Kau
juga menyenangkan.” Ungkap Miwa membuat Jimin senyum-senyum sendiri mendengar
dirinya di puji. “Kau bilang kau ingin jadi penyanyi. Coba, aku ingin mendengar
kau menyanyi.” Pinta Miwa.
“Ya, tentu saja. Menyanyi lagu apa?”
Tanya Jimin menyanggupi.
“Lagu yang sesuai dengan suasana
hatimu, lagu yang kau sukai.”
“Lagu apa ya?” Jimin berpikir,
mencari lagu yang tepat. “Ah, aku tahu!” Pekiknya. “Karena kau sudah memujiku,
aku juga akan memujimu dengan laguku. Aku sangat suka lagu ini.”
Jimin mengambil suara dan siap
bernyanyi. Tapi Miwa tertawa sebelum dia bernanyi. “Jangan tertawa! Aku akan
mulai!”
‘You’re
beautiful...’
‘cham
gwaenchanhji anhni uli dul’
‘maennal
ileohge tto’
‘sangsang-eul
hae you be with me with me’
Miwa bertepuk tangan keras, dia
menikmati lagunya meskipun hanya sebentar.
“Kupikir kau sangat cocok menjadi
penyanyi.” Miwa memberikan jempolnya. Jimin tersenyum lebar.
“Ya, sepertinya begitu. Aku pasti
akan sangat terkenal.” Ucapnya dengan percaya diri. “Hey, ayo kita saling
mengungkapkan harapan masing-masing!” Cetusnya kemudian. Miwa mengangguk
setuju.
“Dimulai dariku.” Jimin mengacungkan
jarinya. “Harapanku adalah, agar aku dapat melakukan apapun yang kuinginkan.
Kuharap Appa dan Eomma mengerti itu. Kuharap juga, do’a dari temanku yang
sekarang berada di sisiku terwujud.”
“Gomawo. Sekarang giliranku.”
“Kuharap aku bisa berguna bagi orang
lain. Ku harap semua orang yang kusayangi selalu berbahagia. Dan kuharap juga
impian Jimin-sshi terwujud.” Miwa mengangguk mengiyakan harapannya sendiri.
“Kenapa tidak meminta harapan yang
lain? Maksutku untuk dirimu sendiri. Apa yang sedang kau butuhkan sekarang.”
Sahut Jimin.
“Aku tidak ingin apapun selain itu.
Jika aku mendapatkan dua mata dari seseorang, kuharap aku juga masih bisa
berbagi dengan orang lain. Tidak perduli meskipun aku hanya mendapat satu, itu
akan lebih baik kalau orang lain yang bernasib sama sepertku juga dapat
merasakan kebahagiaan yang sedang ku rasakan.”
“Kau sangat baik. Kau sangat
daebak!!” Jimin memberi penghargaan dengan bertepuk tangan. Miwa tersenyum
senang.
“Lalu, apa yang kau inginkan lagi,
untuk saat ini?” Tanya Jimin menoleh pada Miwa.
“Untuk saat ini?” Miwa diam sejenak.
Tiba-tiba gadis itu menutup wajahnya dengan selimut karena malu.
“Wae? Ucapkan saja. Kalau itu
berhubungan denganku, akan kulakukan.” Sanggup laki-laki itu dengan anggukan
mantap.
“Aku rindu nenek. Setiap malam,
nenek selalu memelukku dan menepuk punggungku agar aku bisa tidur. Tidak
mungkinkan Jimin-sshi melakukannya.” Ucapnya dengan malu-malu. Membuat Jimin
jadi ikut malu. Bola mata laki-laki itu menatap Miwa lewat ekor matanya.
“Ku pikir kalau hanya bergandengan
saja tidak apa-apa. Tapi itu tidak setara memang.” Kata Jimin mengalihkan
pandangannya. Beberapa saat gadis itu tidak berkata apa-apa dan tiba-tiba Jimin
terkejut ketika Miwa menggenggam erat tangan kanannya yang tersembunyi di balik
selimut.
“Aku takut saat malam hari, karena
aku sendirian. Aku tidak ingin sendirian.” Kata gadis itu pelan, namun Jimin
masih dapat mendengarnya. Yah, paling tidak akhirnya Miwa mengatakan apa yang
diinginkannya.
“Kau tidak sendirian, ada aku.”
Jimin memiringkan posisi badannya menghadap Miwa dan menggenggam tangan gadis
itu dengan kedua tangannya. Miwa ikut
merubah posisinya mengahadap Jimin.
“Gomawo.” Gadis itu tertidur setelah
itu.Tenangkan hatimu Park Jimin! Seru Jimin dalam hati. Sebenarnya dia gugup
sekali. Tapi bertingkah sok keren sepertinya sangat dibutuhkan untuk saat ini.
Jimin menatap wajah damai Miwa yang
sedang tidur. Dia hampir tidak bisa
menahan dirinya untuk tindak menyentuh wajah manis gadis itu. Tangannya
melayang di atas pipi Miwa, tapi tidak lebih dari itu.
&&&&
Jimin
mengerjapkan matanya saat cahaya matahari mulai memasuki cela-cela jendela
kamar. Laki-laki itu menguap, dia berusaha mengangkat tangan kanannya untuk
mengusap wajahnya, tapi tangannya terasa berat dan ada yang menariknya. Jimin
sedikit menoleh dan langsung mendapati pelipisnya bersentuhan dengan pelipis
orang lain. Gadis itu menyembunyikan wajahnya di belakang telinganya. Jimin
ingin menjerit, tapi dia mengurungkan niatnya dan lebih memilih menjerit tanpa
suara.
“Miwa-sshi. Miwa-sshi.” Gadis itu
tidur nyenyak sekali. Apa yang harus dilakukannya sekarang?
Jimin menjauhkan kepalanya dari
kepala gadis itu, tangan gadis itu masih tertaut dengan tangan Jimin. Bukan
gadis itu yang menggenggamnya, tapi Jimin sendiri. Laki-laki itu menatap
kembali wajah Miwa dengan sedih.
“Kuharap kau dapat melihatku.”
Lirihnya lalu memeluk gadis itu dan menepuk punggungnya pelan.
&&&&
Hari
minggu biasanya toko masih buka. Karena Jimin mengajak Miwa jalan-jalan pagi,
akhirnya toko ditutup sementara.
“Jimin-sshi, di sini banyak orang.
Aku tidak mau menabrak mereka.” Kata Miwa setengah kebingungan dengan
suara-suara di sekelilingnya.
“Di sini kita bisa olah raga dengan
nyaman. Kita akan olah raga.” Jimin menarik tangan Miwa menuju bangku terdekat
di bawah pohon dan mendudukkan gadis itu di sana.
“Jimin-sshi, apa yang akan kita
lakukan?” Tanya Miwa.
Jimin sedikit melakukan peregangan
tangan. “Kau bisa melakukan pemanasankan?” Tanyanya kemudian.
“Iya, aku bisa.” Miwa pelan-pelan
berdiri dan melakukan pemanasan sesuai apa yang diketahuinya.
“Itu bagus sekali.” Puji Jimin.
Laki-laki itu membantunya agar tidak terjatuh ketika melakukan pemanasan.
Setelah
itu mereka melakukan lari pagi. Jimin menggandeng tangan Miwa supaya gadis itu
dapat dengan tenang berlari tanpa takut terjatuh ataupun menabrak orang lain.
“Lelahnya.” Jimin menghempaskan
badannya ke rumput di samping bangku kayu awal ketika mereka melakukan pemanasan.
Rambut dan bajunya basah karena keringat. Laki-laki itu mengusap lehernya yang
berkeringat dengan handuk.
“Sini, duduklah dan luruskan
kakimu.” Jimin menarik tangan Miwa untuk duduk.
“Olah raga sangat menyenangkan. Aku
jarang sekali olah raga di luar rumah. Apa aku telihat gendut?” Tanya Miwa
setelah pengakuannya. Gendut? Gadis itu bahkan sangat langsing.
“Tidak sama sekali.” Jimin
menggeleng. Laki-laki itu mengamati keringat yang mengalir di kening gadis itu.
Jimin mengambil handuk milik Miwa yang sedari tadi hanya dipegangnya. Laki-laki
itu mengusap kening Miwa perlahan. Gadis itu berjengit.
“Kenapa?” Tanya Miwa. Jimin
mengerjapkan mata dan menurunkan tangannya. Laki-laki itu menunduk malu.
“Keringat.” Katanya. Gadis itu
ber’oh’ lalu tersenyum.
“Terima kasih.”
Jimin tersenyum ketika melihat Miwa
juga tersenyum. Tapi senyumnya memudar saat melihat dua orang yang berjalan
beberapa meter dari mereka dengan tatapan mencari-cari. Dia sangat mengenalnya
dua pria setengah baya itu. Salah satunya adalah pamannya, dan salah satunya
adalah supir ayahnya.
“Miwa-sshi, kita harus pergi dari
sini.” Jimin menarik tangan Miwa tiba-tiba.
“Ada apa?” Tanya gadis itu bingung.
Tanpa menjawab pertanyaan Miwa, laki-laki itu tetap menariknya dan membawanya
pergi dari tempat itu sebelum pamannya menyadarinya. Bagaimana dia ada di sini?
Appa pasti meminta orang-orang itu untuk mencarinya.
“Jimin-sshi,
ada apa?” Gadis itu terus bertanya setelah Jimin berhasil membawanya pulang ke
toko buku dengan mengendap-endap. Jimin mengamati sekeliling. Setelah dirasa
aman, barulah dia dapat bernafas lega.
“Bukan apa-apa.” Jawab Jimin.
Jatungnya tidak karuan karena takut orang itu menemukannya.
“Apakah mereka penjahat yang
kemarin?” Tanya Miwa lagi.
“Bukan, dia pamanku.” Kata Jimin
singkat setelah duduk di salah satu kursi kayu. Tiba-tiba Miwa memukulnya.
“Wae? Kenapa memukulku?”
“Kau harusnya menemuinya. Mereka
sedang mencarimu.”
“Yang namanya pergi dari rumah itu
tidak ada istilahnya tiba-tiba menemui orang yang membuatmu ingin kaburkan? Itu
sangat konyol.” Kata Jimin tidak habis pikir.
“Tapi kau tidak bisa selamanya pergi
dari rumahmu kan?” Pertanyaan Miwa membuatnya berpikir lagi. Benar juga, tidak
mungkin dia terus menerus bersembunyi di rumah gadis ini.
“Kalau begitu, kita menikah dan
hidup bersama. Itu ide yang bagus bukan?” Ide bodoh tanpa dasar dari Jimin.
“Apa-apaan itu? Mana bisa begitu?”
Protes Miwa. “Mandilah, kita akan membuka toko sebentar lagi!” Perintahnya
dengan tangan di pinggang. Membuat Jimin cemberut dan merajuk seperti anak
kecil.
“Kenapa? Aku belum mau mandi.
Bukankah ideku tadi sangat bagus? Miwa-sshi!”
&&&&
Malam
hari saat toko tutup adalah saat yang paling ditunggu Jimin. Saat pelanggan
pergi dan saat dimana dia bisa istirahat setelah melayani pelanggan mereka.
Laki-laki itu melepas topinya dan menyisir rambutnya dengan jari-jari. Dia
mengamati Miwa yang merapikan buku tidak jauh darinya.
“Jimin-sshi, di mana kau menaruh
apel dari Nyonya Shin?” Tanya Miwa tiba-tiba membuat Jimin terlonjak.
“Aku menaruhnya di meja kasir. Aku
takut kau mencarinya, jadi kutaruh di situ.”
“Ah, iya. Aku menemukannya, terima
kasih.” Miwa berhasil menemukan sekeranjang apel di meja kasir. Jimin berjalan
mendekatinya.
“Apa kau pernah menyukai seseorang?”
Tanya Jimin tib-tiba dengan topik yang aneh menurut Miwa.
“Aku? Aku tidak tahu.” Miwa menunduk
sambil merangkul sekeranjang apel merah segar. “Kalau Jimin-sshi?” Dia balik
bertanya. Jimin menggaruk belakang kepalanya, bingung harus mengatakan apa.
“Kalau itu, sebenarnya aku...” Jimin
menatap wajah Miwa. Belum sempat meneruskan kalimatnya, tiba-tiba suara keras
dari pintu toko membuat mereka berdua terkejut.
“Selamat malam Nyonya dan Tuan! Maaf
menganggu kalian!” Seru seorang pria berpakaian jas yang sama tapi dengan
keadaan yang berbeda. Kalau kemarin dia
berpakaian rapi dengan wajah yang bersih. Sekarang wajah pria itu
terlihat kacau dan babak belur, dua orang di belakangnya juga tidak kalah.
Banyak luka lebam di wajah mereka.
“Orang-orang ini datang lagi.” Gumam
Jimin waspada dan langsung menarik Miwa kebelakang punggungnya ketika orang-orang
itu berjalan mendekat.
“Kau masih di sini?” Tanya pria yang
berpangkat bos sambil menarik kain lengannya ke atas. Gaya seperti itu sama
sekali tidak membuat Jimin takut. “Tapi beruntung sekali kau masih di sini,
kami juga bisa langsung menghabisimu tanpa harus mencarimu.” Lanjut pria itu
dengan senyum merendahkan.
“Apa yang mau kalian lakukan?” Jimin
mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan toko dan jalan di luar. Sepi
sekali.
“Masih bertanya! Tentu saja untuk
menghabisimu. Bos sudah memberitahumu. Dasar anak bodoh!”
Jimin tidak tahan dengan kata-kata
kasar dari ketiga pria itu. Saat ini sasaran utamanya adalah dirinya. Ini
adalah rencana balas dendam.
“Kau tahu, karena kau kita harus
berurusan dengan polisi dan mendapat luka ini. Kau harus membayar semuanya!”
“Oke, akan kubayar berapapun kau
mau! Kau mau berapa?” Jimin mencari aman dengan mengeluarkan dompet dari saku
celananya, tapi pria tua itu justru melempar dompet yang dipegang Jimin. Pria
itu menarik kerah leher Jimin.
“Bayarannya adalah, kami akan
menggambar luka yang sama seperti yang kami miliki di wajah dan badanmu hingga
kau tidak dapat merasakan luka apa yang kau terima.” Baiklah, kata-katanya
cukup meyakinkan.
Dengan gerak cepat, pria itu hampir
saja mendaratkan tinjunya di wajah Jimin, beruntungnya laki-laki itu dapat
menghindar. Jimin mendekat kepada Miwa yang berada dibelakangnya.
“Miwa-sshi, pergilah dan telepon
polisi segera!” Bisiknya. Miwa ragu, tapi dia mengangguk mengerti dan mengambil
ponsel di sakunya.
Dua pengikut pria tadi berusaha
mencegah Miwa, tapi Jimin segera menendang mereka agar mereka menjauh. Dua
orang itu jatuh terjungkal. Sial, laki-laki ini kuat juga. Pria berjas itu
merengsek maju dan berusaha memukul wajah Jimin berkali-kali. Tapi berkali-kali
juga Jimin dapat menghindar. Jimin antara sibuk menyelamatkan hidupnya dan
menghindarkan Miwa dari penjahat-penjahat itu.
Jimin berhasil mendaratkan beberapa
pukulan dan membuat orang-orang itu terjatuh, tapi tidak sedikit juga luka yang
di dapatnya. Giginya berdarah karena tinjuan dari pria pendek berotot.
Miwa tidak dapat pergi dari tempat
itu dengan mudah karena suara disekelilingnya yang kacau balau. Pria kerempeng
menjambak rambut panjangnya hingga gadis itu menjerit kesakitan.
“Miwa-sshi!” Jimin berlari kepada
Miwa dan langsung menghempaskan pria kerempeng itu kedinding. Menabrak rak
gantung berisi buku. Jimin menarik Miwa kedekatnya, nafas laki-laki itu
tersenggal-senggal karena kelelahan. Kenapa polisi tidak segera datang?
Kesempatan di mana Jimin lengah dan
tidak memperdulikan dua orang pria tadi menjadi waktu yang tepat untuk
melaksanakan taktik licik mereka. Bos dari geng itu menyambar botol kaca hiasan
toko dan memecahkan botol itu hingga tertinggal bagian tajam bergerigi di ujung
botol.
“Aku akan membunuh kalian!” Teriak
pria itu dengan ganas berlari kearah mereka dengan botol teracung. Jimin dan
Miwa berhasil menghindar, tapi pria berotot menghadangnya. Jimin menendang pria itu, dan pada saat itu
bos mereka memanfaatkan waktu sempit itu untuk mengenai botol itu kepada
sasaran.
Pria itu berhasil menghujamkan ujung
pecahan botol tepat di punggung Jimin. Laki-laki itu berteriak kesakitan,
punggungnya perih sekali. Perutnya seakan di kocok. Tapi laki-laki muda itu sama
sekali tidak melepaskan Miwa dari dekapannya. Hanya itu satu-satunya cara
menyelamatkan gadis ini.
Jimin jatuh tersungkur ke lantai,
meninggalkan Miwa yang begitu kebingungan dan menangis. Dua pria berotot dan
pria kerempeng menarik gadis itu. Sebelum bos dua orang tadi berhasil melukai
Miwa, Jimin berhasil berdiri lagi dan melawan dengan sisa tenaganya.
“Apa yang kalian lakukan?! Jangan
penah sedikitpun mendekatinya!”
“Kau ini ternyata benar-benar ingin
mati?!” Si pria berotot menendang perut Jimin dengan kakinya, hingga laki-laki
itu terjatuh ke lantai dengan darahnya yang semakin banyak terbuang. Pria
berjas kembali bersiap dengan botolnya dan menusuk kembali perut laki-laki muda
itu untuk beberapa kali.
“Jimin-sshi!” Miwa berteriak
histeris ketika suara Jimin tak lagi terdengar. Suara laki-laki itu bahkan
tidak dapat keluar karena menahan rasa sakit. Dan pada saat itu suara sirine
polisi terdengar di depan toko dengan 7 polisi berseragam lengkap masuk ke
dalam. Membekuk 3 penjahat yang sudah masuk sebagai daftar buronan mereka.
Kejadian terjadi begitu cepat.
“Jimin-sshi, Jimin-sshi. Kau tidak
apa-apa? Jimin-sshi!” Miwa dengan tertatih-tatih mengampiri Jimin yang jatuh
terbaring di lantai. Gadis itu berhasil memeluk laki-laki itu.
“Jimin-sshi.” Tangan Miwa menyentuh
pipi Jimin yang lebam.
“Aku tidak apa-apa. Semua baik-baik
saja sekarang.” Lirihnya dengan terbata-bata. Rasa sakit dan nyeri bahkan
sampai tidak terasa karena terlalu banyak luka yang diterimanya. 3 orang
penjahat itu tidak berbohong. Tapi setidaknya, dia dapat melindungi Miwa
apapaun yang terjadi.
“Kau tidak baik-baik saja.” Miwa
menangis. Jimin menyentuh tangan Miwa yang berada di pipinya.
“Miwa-sshi.” Panggil Jimin pelan.
Suara sirine mobil polisi tergantikan dengan suara dari sirine mobil ambulans.
Warga juga banyak berkerumun menyaksikan keramian pada malam hari kala itu.
“Kalau aku bisa bangun, aku ingin
kita benar-benar bisa menikah.” Laki-laki itu tersenyum. “Aku akan
melindungimu. Meskipun usiaku belum 25 tahun, aku tidak perduli. Aku juga akan
menjadi penyanyi yang menyanyikanmu banyak lagu.” Dia berusaha tertawa, tapi
rasa nyeri membuatnya bungkam hingga air matanya ikut mengalir.
“Jimin-sshi, terima kasih.” Kata
Miwa, pundak gadis itu naik turun. Jimin mengecup pipi Miwa sebelum dia
akhirnya benar-benar tidak sadarkan diri dan melihat wajah gadis yang
membuatnya jatuh hati dan begitu teduh meskipun sedang menangis untuk terakhir
kali.
&&&&
“Jimin-ah!!!
Jimin-aah!!”
Suara euphoria dan badai teriakan
begitu membahana di seluruh studion besar itu. Jutaan penonton berdatanganan
dari penjuru dunia hanya demi melihat penampilan ke 7 laki-laki menawan idola
mereka.
“Jimin-sshi! Bagunlah, lihatlah
itu!” Seorang dengan rambut dicat oranye dengan pesona 4D dan berusia tidak
jauh darinya itu menepuk pundaknya berkali-kali. Membangunkannya dari mimpi.
“Tae Hyung-Hyung, Berhentilah
mengangguku!” Laki-laki bermarga Park itu kembali tertidur.
“Kenapa kau jadi tidak asyik setelah
bangun tidur? Bangunlah!” Tae Hyung menggoyang-goyangkan kursi yang diduduki
Park Jimin hingga kursi itu hampir jatuh. Jimin melompat seketika sedangkan
dengan jahatnya Tae Hyung yang juga sering dipanggil V itu tertawa-tawa.
“Jimin-sshi, kau menangis?” Min
Yoongi alias Suga yang kebetulan lewat melihat kejanggalan dari raut wajah
Jimin. Sontak Jimin mengusap matanya.
“Kau habis bermimpi apa?” Rap
Monster dengan nama asli Kim Namjoon itu ikut bergabung dan berjongkok di depan
Jimin.
“Aku juga ingin mendengarnya!” Kim
Seok Jin alias Jin dan Jeon Jeong Guk alias Jung Kook berlari kearah kerumanan
member BTS itu.
“Aku tidak tahu aku sedang bermimpi
apa. Yang jelas aku sedih sekali.” Jimin mengusap matanya yang semakin banyak
mengeluarkan air. Dia menangis lagi.
“Ayolah jangan menangis! Ceritakan
pada kami.” Seok Jin mengusap punggung Jimin dengan prihatin.
Teriakan dari seseorang dibelakang
mereka membuat cerita yang sangat menarik itu terhenti.
“Kalian semua, perkenalkan! Kita
ketambahan asisten baru! Perkenalkan namamu.” Pria setengah baya yang tidak
lain dan tidak bukan adalah Manager kesayangan mereka. Manager itu menepuk
pundak seseorang yang berdiri di sebelahnya. Orang yang berdiri di samping
manager tersenyum seraya memperkenalkan dirinya.
“Perkenalkan, namaku Cho-“
Belum selesai memperkenalkan diri,
laki-laki bebadan macho itu sudah menyahut tidak karuan.
“Ya Tuhan, Cho Miwa! Miwa-sshi!”
Gadis itu terkejut ketika laki-laki
itu begitu saja menyebut namanya.
“Maaf, benar sekali namaku Cho Miwa.
Senang berkenalan dengan kalian!”
“Wah, bagaimana Hyung tahu namanya?”
Jung Kook bahkan hampir tidak percaya.
“Ceritanya panjang sekali. Kau tidak
akan mempercayainya.” Jimin tersenyum menatap gadis berambut panjang yang juga
menoleh padanya dengan senyum manis.
~ FIN~
Mianhae,
yang baca ini pasti langsung lempar laptop, komputer, tablet, dan hape
masing-masing. Tapi author sebenernya nggak mau endingnya kayak gini.
Sebenernya ada versi lainnya. Cuman endingnya sedih gitu. Jadi lebih baik gini
aja. Nggak ada yang harus mati, pergi atau terluka. #eaaaa. Tolong saran dan
coment-nya untuk fanfict yang super gereget. Geregetin maksutnya. Hamsahamida!
0 komentar:
Posting Komentar