Why Love is So Blind?
Title : Why Love is So Blid?
Author : Nawang Sasi
Cast : Park Jimin (BTS), Cho Miwa(OC)
Leght : Chapter 1
Rate :
16
~ Happy Reading ~
1... 2... 3... Action!
“Appa,
aku tidak mau! Tidak mau ya tidak mau!” Laki-laki itu berteriak keras menentang
keinginan ayahnya. Ini adalah pertama kalinya dia menolak mentah-mentah
permintaan dari orang tuanya. Meskipun hal itu menyakiti hati Appa dan Eomma.
Tapi permintaan mereka sama sekali tidak sesuai dengan keinginannya.
“Aku tidak ingin kuliah di keluar
negeri. Aku ingin ikut tes pencarikan bakat itu. Sama sekali tidak terpikirkan
olehku untuk menjadi profesor, hakim,
ataupun dokter. Apakah salah satu pekerjaan itu cocok untukku? Appa, Eomma,
kumohon mengertilah.” Untuk terakhir kalinya pria itu meminta agar ayah dan
ibunya tidak menekannya untuk bersekolah di sekolah pilihan mereka.Sayangnya, bukan
persetujuan yang didapatkan dari kedua orang tua yang selama ini merawatnya
dengan baik agar menjadi seorang yang berguna bagi diri sendiri dan orang lain.
Justru tamparan keras yang sukses mengukir pipinya.
“Kau sudah keterlaluan! Beginikah
yang kau lakukan pada kedua orang tuamu? Hah?!” Hampir saja Appa memukulnya
lagi, tapi Eomma segera mencegah tangan suaminya agar tidak melukai anaknya
untuk kesekian kali.
“Tidak perlu mencegahku!” Appa
menarik tangannya dengan keras hingga Eomma hampir saja terjatuh. Pria
yangsudah berusiakepala dua itu benar-benar marah. Urat nadi di kening dan
lehernya terlihat jelas sekali, meluapkan amarah yang sudah beberapa hari
dipendamnya untuk anak yang keras kepala ini.
“Asal kau tau Park Jimin, Appa
memberi yang terbaik untukmu! Tapi kau menolaknya! Kesempatan ini jarang
didapatkan anak seusiamu! Appa bisa saja memberikan semua biaya sekolah yang
sudah Appa siapkan untukmu kepada orang lain kalau kau benar-benar menolak!”
Pria dewasa itu berteriak di depan wajah anaknya. Tapi anak itu hanya menunduk
menahan amarah.
“Kalau kau masih keras kepala,
pergilah dari rumah ini! Jangan pernah kembali sebelum pemikiranmu berubah! Aku
tidak membesarkanmu untuk ini!”
Jimin mengangkat wajahnya. Oke, ini
lah yang di inginkannya! Dia sudah muak tinggal di dalam rumah yang setiap hari
penghuninya selalu memaksanya untuk belajar, belajar, dan belajar. Kapan keinginannya
sendiri akan terpenuhi? Percuma belajar dan mengikuti keinginan kedua orang itu
kalau dia sendiri tidak menginginkan. Sudah cukup sampai di sini dia menjadi
anak penurut. Tanpa berkata sepatah katapun. Laki-laki berusia 20 tahun itu
pergi ke kamarnya untuk berkemas. Orang itu bilang dia anak yang keras kepala?
Baiklah, ini yang namanya keras kepala!
“Jimin-ah!” Eomma menyusul Park
Jimin sambil menangis. Sedangkan Appa hanya berdiam diri di tempatnya. Pria
dewasa itu sudah lelah mengurusi masalah ini.
“Jimin-ah,
jangan gegabah! Kau mau pergi ke mana? Kau akan tidak akan benar-benar pergi
kan?” Eomma berusaha menghentikan tangan Jimin yang terus mengambil
pakaian-pakaiannya dan memasukkannya ke dalam tas ransel. Dia hanya memilih
pakaian yang dibelinya dengan hasil usahanya sendiri. Semua barangnya yang
dibelinya sendiri.
“Jimin-ah!” Eomma berhasil
menghentikan pergerakan Jimin yang begitu terburu-buru dengan memeluknya.
“Tolong pikirkan baik-baik dan turutilah keinginan Appa.” Pinta Eomma sekali
lagi. Eomma membelai lembut punggung tegap Park Jimin. Tinggi pria itu kini
bahkan mengalahkan tinggi ibunya. Jimin balas memeluk.
“Sepeti kata Appa, aku akan kembali
ketika aku berubah pikiran. Eomma, jagalah Appa dengan baik. Jangan
mengkhawatirkanku, aku bisa menjaga diriku sendiri.” Setelah mengucapkan itu,
Jimin melepaskan pelukan ibu dan menyandang tasnya, pergi dari rumah yang sudah
dia tinggali hampir separuh hidupnya.
&&&&
Pria
itu berjalan menyusuri trotoar yang ramai dengan pengguna jalan lain. Entah itu
seorang pria berkaca mata yang sedang terburu-buru bertemu dengan kliennya,
seorang kakek yang duduk di bangku di bawah pohon sendirian, sepasang kekasih
yang sedang berjalan sambil bergandengan tangan, dan ibu dengan kereta dorong
bayinya. Kehidupan di luar sana jauh lebih menyenangkan dari apa yang selama
ini dijalaninya. Pikirannya sedang kacau dan kalut sekarang. Dia bahkan tidak
bisa pergi ke rumah temannya karena takut ayahnya akan menemukannya. Pria muda yang
memakai topi dengan mulut topi yang
terbalik ke belakang itu terus berjalan tanpa tujuan yang pasti. Setidaknya
cukup jauh sampai ibunya tidak dapat menemukannya.
Seorang
gadis berambut panjang yang membawa buku dari arah yang berlawanan berjalan
menuju padanya. Jimin menggeser sedikit langkahnya agar gadis itu bisa lewat.
Tapi anehnya gadis itu justru tetap menabraknya hingga buku-buku yang dibawa
gadis itu jatuh berserakan di keramik trotoar. Apa gadis ini sengaja?
“Kenapa kau tidak hati-hati? Kau
tidak lihat masih ada banyak ruang untukmu berjalan?” Tanya Jimin dengan ketus,
suasana hatinya masih sangat buruk. Sejenak dia tidak memperdulikan gadis yang
sibuk mengambil buku-buku itu. Gadis itu tampak kesulitan. Perempuan ini
mengambil buku saja masih kerepotan? Apa dia harus mengajarinya?
Jimin mendengus lalu berjongkok
dihadapan gadis yang meraba-raba lantai
untuk menemukan buku miliknya.
Tanpa menoleh sebelumnya pada gadis
itu, Jimin mengambil 2 buku yang terjatuh. “Ini.” Pria itu menyodorkan buku
milik si gadis. Jimin tertegun ketika mengamati wajah gadis itu.
“Terima kasih.” Ujar gadis itu
sambil menganggukkan kepala. Tangan gadis itu meraba udara untuk menerima buku
yang diambil Jimin. Mata indah gadis manis dengan bibir kecil itu selalu
manatap dengan tatapan kosong. Seolah menemukan sesuatu tapi tidak dapat
melihatnya.
Jimin melambaikan tangannya di depan
wajah gadis itu. Tapi gadis itu sama sekali tidak terganggu atau merespon. Pria
itu menutup mulutnya dengan tangan. Dia sangat menyesal telah mengucapkan
kalimat kasar tadi.
“Maafkan aku, aku sama sekali tidak
bermaksut melukai hatimu.” Kata Jimin buru-buru. Pria itu mengambil alih
membawakan buku-buku milik gadis itu.
“Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja.”
Kata gadis itu pelan.
“Aku akan mengantarmu sampai ke
rumahmu.” Jimin menawarkan bantuan.
“Tidak apa-apa, aku bisa sendiri.”
Gadis itu menolak, tangannya berusaha menggapai buku yang dibawa Jimin.
“Aku akan membantumu. Jadi
tenanglah.” Bagi Jimin itu sudah kalimat paling sopan yang diucapkannya. Tapi,
bagi gadis itu adalah kata-kata yang sangat memaksa.
“Tidak perlu, terima kasih banyak
atas niat baikmu.” Gadis itu membungkuk dan berhasil merebut buku-buku itu. Dia
mempercepat jalannya agar laki-laki yang suaranya sangat tidak dikenalinya itu
pergi meninggalkannya. Meskipun begitu, Jimin tetap mengikutinya dari belakang.
Gadis itu memasuki sebuah toko buku.
Jimin ikut masuk, untungnya gadis itu tidak akan tahu kalau dia sedang
mengikutinya. Jadi dia santai saja.
“Ini sangat hebat! Dia bahkan hafal
letak buku-bukunya.” Gumam Jimin kagum setelah melihat gadis itu memasukkan
buku-buku kedalam rak dengan rapi. Akhirnya pria itu tahu kalau orang yang i’ikutinya
adalah seorang penjaga toko buku yang juga sekaligus rental buku.
Jimin duduk disalah satu kursi kayu
di antara rak-rak buku dekat dengan tempat kasir, pria itu menyandarkan
kepalanya di atas meja. Bosan melihat gadis itu hanya menata buku dan melayani
orang-orang yang mondar-mondir berkunjung ke toko, laki-laki itu akhirnya
memilih membantu tanpa sepengetahuan si gadis manis berambut panjang bergelombang.
Jimin memasukkan buku ke rak sesuai genre masing-masing. Tiba-tiba ada beberapa
pria yang masuk sambil berteriak.
“Miwa-ah! Pagi yang cerah!”
Seseorang pria sangar memakai jas dengan badan tegap menghampiri gadis bernama
Miwa yang berdiri belakang meja kasir. Jimin mengamati pria itu dan dua orang
pria pengikutnya. Satunya berbadan tinggi kerempeng memakai kaos, satunya lagi berbadan
kecil tapi punya otot yang lumayan. Jimin sampai mengecek kembali ototnya.
Apakah ototnya juga sebesar itu.
Pria itu menyandarkan sikunya di
meja kasir, wajahnya tepat berada di depan wajah Miwa, si penjaga kasir.
Tangannya menyentuh pipi Miwa dan tersenyum pada gadis itu. Percuma saja, gadis
itu tidak akan tahu senyum liciknya. Pria itu memberi kode kepada kedua pengikutnya
dengan anggukan kepala. Jimin hanya mengamati gerak-gerik 3 pria itu.
2 pria pesuruh laki-laki tadi pergi
ke belakang meja kasir, sedangkan pria tadi berbincang-bincang dengan Miwa.
Pria itu berbicara dengan sangat akrab seolah dia sangat mengenal gadis itu.
Pria berotot itu membuka laci uang kasir tanpa suara, sedangkan si pria
kerempeng berjaga-jaga. Jimin mendelik,
orang-orang itu mencuri uang dengan memanfaat keadaan gadis itu. Jimin sudah tidak
dapat mengendalikan dirinya untuk tidak memarahi ataupun memukul orang-orang
payah yang tidak punya perasaan itu.
“Apa
yang sedang kalian lakukan tuan-tuan?” Tanya laki-laki maskulin memakai tank
top itu dengan nada santai namun mengejek.
“Aku? Apa yang kulakukan?” Pria itu
berjengit dan mencari alasan ketika seorang laki-laki remaja tiba-tiba
memergokinya. Sedangkan gadis tadi mencari asal suara Jimin.
“Hey, kalian yang sedang mencuri
uang! Berdirilah atau kulaporkan kepada polisi atas tindakan kalian!” Gertak
Jimin membuat dua orang tadi langsung berdiri dan kembali ke belakang bos
mereka dengan meninggalkan uang yang mereka kumpulkan.
“Apa-apaan kau bocah? Kami tidak
melakukan apa-apa kan Miwa-ah?” Pria tadi bertanya pada Miwadengan suara
manisnya yang menjijikkan. Tapi gadis itu diam saja.
“Cepatlah pergi dari sini! Semua
orang tahu kalau kalian sedang mencuri uangnya!” Seru Jimin lagi. Semua
pengunjung toko yang mendengar suara keras Jiminmelihat kearah mereka. Bahkan
ada yang merekan kejadian ini. Pria tua sangar itu menggeram.
“Dia hanya gadis buta! Dia bahkan
tidak membutuhkan uang-uang itu untuk dirinya sendiri! Awas kau bocah sialan!”
Ancam pria perampok dengan kasarnya lalu menyuruh dua anak buahnya meninggalkan
tempat itu. Setelah 3 pria tadi pergi, pengunjung banyak yang mendekati gadis
tadi untuk menunjukkan rasa simpatinya, ada yang berbisik-bisik, ada salah satu
pengunjung yang sudah menelepon polisi.
Saat pengunjung yang bergerumun tadi
pergi, Jimin ingin ikut pergi bersama
pengujung tadi, tapi gadis itu sudah lebih dulu memanggilnya.
“Permisi, tuan pembela kebenaran.”
Apa dia bilang? Tuan pembela
kebenaran? Itu nama yang sangat menggelikan.
“Aku?” Jimin menunjuk dirinya
sendiri, tidak yakin kalau sebutan itu untuk dirinya. Gadis itu keluar dari
meja kasir dan mendekati Park Jimin. Tangannya berusaha menggapai pria itu dan
berhasil menyentuh lengannya.
“Terima kasih untukmu. Aku sangat
berterima kasih.” Gadis itu membungkuk berterima kasih. Jimin balas sedikit
membungkuk dengan senyum kikuk. “Tanpa bantuanmu, orang-orang itu besok pasti
akan datang lagi dan lagi.”
“Tunggu, kau tahu kalau orang itu
mengambil uangmu?” Jimin hampir tidak percaya.
“Sebenarnya aku sudah tahu mereka
selalu datang kemari mengambil uang itu, tapi aku bisa apa? Orang-orang itu
mungkin akan melukaiku.” Ujar gadis itu. Sesaat kemudian gadis itu tersenyum.
"Tapi setidaknya aku sudah tahu dan sudah melakukan persiapan, aku tentu
saja tidak menaruh semua uangku di laci.” Gadis itu tertawa pelan.
“Kau cerdik juga.” Kata Jimin.
“Terima kasih juga sudah membantuku
merapikan buku. Aku tidak tahu balasan apa yang cocok untukmu.” Ungkap gadis
itu. Jimin terkejut lagi. Gadis ini tidak sedang berakting kan?
“Kau tahu kalau aku... membantumu?”
“Aku tentu saja tidak hanya berdiam
diri dengan keadaan diriku. Meskipun aku baru saja belajar bersosialisasi
dengan lingkungan, tapi aku sudah tahu apa saja. Sekarang kau memakai baju
warna putihkan? Oh, ini tank top?” Tebak gadis itu sambil menyentuh tank top
yang dipakai Jimin. Pria manis itu semakin terkesima. Pandangannya berubah
tentang orang-orang yang memiliki keadaan sama seperti gadis ini.
“Kau benar sekali. Kau benar-benar hebat!”
Jimin bertepuk tangan.
“Namaku, Cho Miwa. Senang bertemu
denganmu.” Gadis itu memperkenalkan namanya.
“Namaku Park Jimin. Senang juga
berkenalan denganmu.” Pria itu balas memperkenalkan diri. Jimin berpikir
sejenak. Ini mungkin ide yang sangat nekat.
“Miwa-sshi.” Panggil Jimin. Pria itu
meneguk ludahnya. “Sebenarnya aku tidak memaksamu menerima permintaanku. Tapi
kalau bisa, bisakah aku tinggal di sini sebentar? Sampai keadaan membaik.”
Gadis itu terhenyak. “Hah?”
&&&&
Jimin
duduk mendongakkan kepalanya mengamati bintang di teras belakang rumah
bernuansa kayu itu. Pria itu menghela nafas. Memikirkan kembali kejadian tadi
pagi benar-benar akan membuatnya gila. Ini pertama kalinya dia kabur dari
rumah, dan ini pertama kalinya dia membentak orang tua yang disayanginya.
“Jimin-sshi.” Miwa memanggil.
Membuat Jimin sedikit terkejut. Pria itu menoleh kebelakang dan membantu gadis
itu.
“Apa yang sedang kau pikirkan?”
Tanya Miwa. Kaki rampingnya berayun-ayun di bawah teras kayu.
“Tidak ada.” Jimin berbohong.
“Akan sangat melegakan kalau kita
saling berbagi cerita.” Ujar Miwa dengan senyum. “Aku akan mulai dengan
ceritaku. Setelah itu ceritamu.” Miwa menarik nafas sebelum bercerita.
“Aku kelihangan penglihatanku saat
berumur 5 tahun, karena demam tinggi. Aku tidak punya orang tua. Aku berasal
dari panti asuhan, nenek pemilik toko buku ini mengadopsiku. Nenek mendaftarkanku
sekolah di sekolah khusus selama aku menjadi anaknya. Jadi, aku tidak akan
terlalu merepotkan nenek yang berdo’a di surga sana untukku. Beliau meninggal 2
tahun yang lalu. Dan 2 tahun itu aku hidup sendirian.” Ada jeda sejenak, gadis
itu menghela nafas.
“Beliau selalu berkata padaku.
‘Jadilah orang yang berguna untuk diri sendiri dan orang lain. Tidak peduli
seperti apa keadaanmu, jangan menyerah dan lakukan kebaikan sebanyak mungkin selama
kau masih bisa bernafas.’. Bukankah itu kalimat yang sangat keren?” Pertanyaan
itu mengakhiri ceritanya. Jimin belum menjawab, laki-laki itu masih diam. Ini
mirip seperti di film, tapi ini kenyataan. Badan boleh kekar, tapi dia hampir
saja menangis karena terlalu menghayati cerita gadis yang duduk di sampingnya
ini.
“Jangan bilang kau menangis!” Miwa
menepuk keras punggung Jimin. Tentu saja dia menangis, suasana saat ini bahkan
sangat mendukungnya untuk menangis. Laki-laki itu selalu yakin, orang-orang
yang mempunyai fisik yang tidak sempurna seperti Miwa pasti selalu
mempunyai hati yang besar untuk terus
menjalani hidup.
“Baiklah, aku akan cerita.” Kata
Jimin setelah mengusap pelupuk matanya yang berair. “Seperti yang kau tahu. Aku
pergi dari rumah. Ayahku memintaku untuk sekolah di luar negeri sebagai seorang
dokter, profesor, apapun lah itu. Tapi itu berbeda dengan keinginanku. Aku
ingin ikut tes pencarian bakat dan menjadi penyanyi. Sebenarnya aku sendiri
tidak yakin apa cita-citaku. Saat masih kanak-kanak aku berkata dengan mudah
ingin menjadi apa ketika dewasa. Sekarang, untuk mewujudkannya saja susah
sekali. Entahlah, menjadi penyanyi atau pegawai kantor mungkin cocok juga
untukku.” Jimin mendesah berat.
Untuk saat ini dia mulai menyesali
apa yang dilakukannya. Kabur dari rumah? Itu memang hal bodoh dan paling
kekanak-kanakan. Tapi apa untungnya tetap mengikuti keinginan orang tua kalau
dia sendiri tidak nyaman menjalaninya.
“Laki-laki memang sangat keren.
Mereka sangat tegar.” Kata Miwa takjub. Apa yang harus ditakjubkan? Jimin tidak
mengerti.
“Itu hanya dari apa yang terlihat.
Bukan dari apa yang dirasakan.” Ungkap Jimin pelan.
“Tapi aku merasakannya.” Kata Miwa.
Gadis itu menarik lengan Jimin, mendekatkan laki-laki itu padanya. Tangan gadis
itu bergerak menepuk lalu mengelus punggung tegap Jimin.
“Nenek selalu melakukan ini saat aku
sedih.”
“Terima kasih banyak, Miwa-sshi.”
&&&&
Silaunya
lampu kamar membuat mata Jimin yang masih mengantuk serasa terkena serangan.
Laki-laki itu mengucek matanya dan langsung terduduk begitu melihat Miwa
berdiri di ambang pintu untuk menyalakan lampu, karena sakelarnya tertempel di
dinding dekat pintu. Kemarin malam Jimin dan Miwa memang tidur satu kamar
karena hanya ruangan itu yang cukup lebar di rumah, cuma mereka memakai Futon
yang berbeda. (sejenis kasur dan selimut hangat yang tinggal digelar di lantai.
Author pake bahasa jepang soalnya nggak tau bahasa koreanya Futon apa.)
“Miwa-sshi, kau sudah bangun?” Tanya
Jimin masih setengah mengantuk. Laki-laki itu menguap.
“Aku selalu bangun pagi-pagi. Kalau
kau masih ingin tidur, aku akan mematikan lampu untukmu.” Miwa hampir mematikan
lampu lagi, tapi Jimin mencegahnya.
“Tidak perlu. Aku sudah bangun.”
Jimin langsung berdiri dan menyingkir dari kasur. Kasur milik Miwa ternyata
sudah terlipat rapi di sudur ruangan. Gadis itu berjalan mendekat kepada Jimin.
“Aku akan melipatkannya.” Kata Miwa.
“Tidak perlu, aku bisa
melakukannya.” Cegah Jimin yang ternyata masih kesusahan melipat selimut yang lebar dan tebal itu. Itu masih
selimut, belum kasurnya. Miwa tetap saja berjalan mendekati Jimin yang duduk
berjongkok. Gadis itu menabrak punggung Jimin, untungnya dia tidak jatuh.
“Mianhae. Aku tidak tahu.” Miwa
mundur selangkah. Jimin tertawa.
“Sudah kubilang, aku bisa sendiri.”
Jimin mengamati Miwa dari atas sampai bawah. Gadis ini punya mata lebar dan
bulu mata yang cantik. Rambut panjangnya terlihat basah, dia sehabis mencuci
rambutnya. Dadanya putih. Putih? Jimin mendelik lalu berbalik. Astaga, apa yang
baru saja dilihatnya. Gadis itu lupa belum mengancingkan kancing baju bagian
kerah leher. (Author malu sendiri.)
“Jimin-sshi, kau yakin bisa
melipatnya sendiri?” Tanya Miwa. Jimin tidak berani menoleh.
“Aku bisa, aku sangat bisa!”
Laki-laki itu gugup. “Tapi sebelumnya, tolong kancingkan dulu!”
“Kancingkan? Yang mana?” Miwa jadi
ikut gugup. Mana yang belum dikancing? Dia tidak tahu. Gadis itu berbalik lalu
bejongkok.
“Leher!” Seru Jimin menyentuh dadanya
sendiri.
“Kau melihatnya?” Tanya Miwa panik.
“Kau tenang saja, lagi pula tidak
terbuka terlalu lebar.”
Miwa menghela nafas lega. Syukurlah.
Setelah mengancingkannya dengan benar. Gadis itu pergi pelan-pelan dari tempat
itu. Dia malu sekali. Jimin ikut menghela nafas. Ya ampun, pagi-pagi sudah
ribut.
Setelah
sarapan pagi buatan Miwa. Jimin memilih membantu gadis itu menjaga toko.
Laki-laki itu mendedikasikan dirinya untuk menyapu lantai. Sedangkan Miwa
mengelap meja.
“Biasanya aku minta bantuan tetangga
untuk menyapu, karena ada Jimin-sshi aku jadi terbantu.” Kata gadis itu beralih
mengelap sisi meja yang lain.
“Yah, ini bukan tugas yang berat
untukku.” Jimin memang sudah biasa menyapu.
Pertama kali menjaga toko cukup
membuat Jimin senang dengan pengalaman barunya. Senang melihat pengunjung
mendatangi toko dan membawa beberapa buku untuk dibeli. Toko jadi ramai ketika
siang hari. Dan dia mulai sibuk merapikan kursi dan buku.
“Miwa-sshi, toko ramai sekali. Kau
tidak bingung?” Tanya Jimin menyenggol lengan Miwa yang sedang berjaga di
kasir.
“Tidak, aku sudah biasa.” Kata Miwa
santainya. Jimin mengangguk-angguk. Tiba-tiba terdengar suara balita menangis.
Jimin dengan cepat menoleh dan menggendong balita menggemaskan itu agar tidak
menangis.
“Aigoo, kwenchana eoh. Kwenchana.” Jimin
menepuk-nepuk punggung balita laki-laki itu. Dia ingin menunjukkannya pada Miwa
juga.
“Miwa-sshi. Anak ini-“ Jimin
tercekat begitu menoleh ke belakang. Miwa tentu saja tidak dapat melihat betapa
lucunya anak yang digendongnya. Seorang wanita tiba-tiba datang menghampirinya
dengan panik.
“Aigoo, terima kasih banyak. Kupikir
anakku hilang.” Jimin memberikan balita manis itu kepada ibunya. Wanita
berambut pendek itu memperhatikan Jimin. Laki-laki ini terlihat asing.
“Siapa laki-laki tampan ini?” Wanita
itu tersenyum lebar. “Akhirnya Miwa-ah mempunyai seseorang untuk membantunya.”
Wanita itu menepuk-nepuk punggung Jimin keras seolah sudah mengenal laki-laki
itu lama sekali. “Dia juga sangat keren.”
Miwa yang sudah sangat mengenali
suara wanita itu langsung menyahut. “Nyonya Shin, dia temanku. Namanya Jimin.
Park Jimin.”
“Jimin-sshi, jagalah Miwa-ah
untukku. Kau tahu, dia sangat pemalu.” Ujar wanita lalu pergi sambil
menggendong bayinya setelah membayar sewa harga buku dongeng untuk anaknya.
Jimin asal mengangguk, agar si ibu tadi merasa senang.
Toko
tutup pukul 21.00, dan sampai saat itu orang-orang jahat kemarin sama sekali
tidak terlihat. Mungkin polisi sudah menangkap mereka. Atau kalau mereka masih
punya harga diri, mereka tidak akan kembali. Jimin dan Miwa merapikan buku-buku
yang berserakan di meja.
“Miwa-sshi, berapa umurmu? Aku belum
tahu.” Tanya Jimin sambil merapikan buku.
“Umurku 20 tahun, Jimin-sshi?”
“Umurku 20 tahun.”
“Ku pikir kau lebih muda dariku.”
Kata Miwa tergelak.
“Aku tidak semuda itu.” Jimin
menggeleng di sertai tawa.
~ TBC ~
Aku dateng bareng Chim-Chim nih!
Langsung baca aja chapter selanjutnya kalau penasaran, langsung aku post kok...
0 komentar:
Posting Komentar