Sabtu, 12 Maret 2016

Why Love is So Blind? chapter 2


Why Love is So Blind?




Title                 : Why Love is So Blid?
Author             : Nawang Sasi
Cast                 : Park Jimin (BTS), Cho Miwa(OC)
Genre              : Life, Romance, Sad(?)
Leght               : Chapter 1
Rate                 : 16
Summary         : ‘


~ Happy Reading ~
1... 2... 3... Action!

            “Appa, aku tidak mau! Tidak mau ya tidak mau!” Laki-laki itu berteriak keras menentang keinginan ayahnya. Ini adalah pertama kalinya dia menolak mentah-mentah permintaan dari orang tuanya. Meskipun hal itu menyakiti hati Appa dan Eomma. Tapi permintaan mereka sama sekali tidak sesuai dengan keinginannya.

“Aku tidak ingin kuliah di keluar negeri. Aku ingin ikut tes pencarikan bakat itu. Sama sekali tidak terpikirkan olehku untuk  menjadi profesor, hakim, ataupun dokter. Apakah salah satu pekerjaan itu cocok untukku? Appa, Eomma, kumohon mengertilah.” Untuk terakhir kalinya pria itu meminta agar ayah dan ibunya tidak menekannya untuk bersekolah di sekolah pilihan mereka.Sayangnya, bukan persetujuan yang didapatkan dari kedua orang tua yang selama ini merawatnya dengan baik agar menjadi seorang yang berguna bagi diri sendiri dan orang lain. Justru tamparan keras yang sukses mengukir pipinya.

“Kau sudah keterlaluan! Beginikah yang kau lakukan pada kedua orang tuamu? Hah?!” Hampir saja Appa memukulnya lagi, tapi Eomma segera mencegah tangan suaminya agar tidak melukai anaknya untuk kesekian kali.

“Tidak perlu mencegahku!” Appa menarik tangannya dengan keras hingga Eomma hampir saja terjatuh. Pria yangsudah berusiakepala dua itu benar-benar marah. Urat nadi di kening dan lehernya terlihat jelas sekali, meluapkan amarah yang sudah beberapa hari dipendamnya untuk anak yang keras kepala ini.

“Asal kau tau Park Jimin, Appa memberi yang terbaik untukmu! Tapi kau menolaknya! Kesempatan ini jarang didapatkan anak seusiamu! Appa bisa saja memberikan semua biaya sekolah yang sudah Appa siapkan untukmu kepada orang lain kalau kau benar-benar menolak!” Pria dewasa itu berteriak di depan wajah anaknya. Tapi anak itu hanya menunduk menahan amarah.

“Kalau kau masih keras kepala, pergilah dari rumah ini! Jangan pernah kembali sebelum pemikiranmu berubah! Aku tidak membesarkanmu untuk ini!”

Jimin mengangkat wajahnya. Oke, ini lah yang di inginkannya! Dia sudah muak tinggal di dalam rumah yang setiap hari penghuninya selalu memaksanya untuk belajar, belajar, dan belajar. Kapan keinginannya sendiri akan terpenuhi? Percuma belajar dan mengikuti keinginan kedua orang itu kalau dia sendiri tidak menginginkan. Sudah cukup sampai di sini dia menjadi anak penurut. Tanpa berkata sepatah katapun. Laki-laki berusia 20 tahun itu pergi ke kamarnya untuk berkemas. Orang itu bilang dia anak yang keras kepala? Baiklah, ini yang namanya keras kepala!

“Jimin-ah!” Eomma menyusul Park Jimin sambil menangis. Sedangkan Appa hanya berdiam diri di tempatnya. Pria dewasa itu sudah lelah mengurusi masalah ini.

            “Jimin-ah, jangan gegabah! Kau mau pergi ke mana? Kau akan tidak akan benar-benar pergi kan?” Eomma berusaha menghentikan tangan Jimin yang terus mengambil pakaian-pakaiannya dan memasukkannya ke dalam tas ransel. Dia hanya memilih pakaian yang dibelinya dengan hasil usahanya sendiri. Semua barangnya yang dibelinya sendiri.

“Jimin-ah!” Eomma berhasil menghentikan pergerakan Jimin yang begitu terburu-buru dengan memeluknya. “Tolong pikirkan baik-baik dan turutilah keinginan Appa.” Pinta Eomma sekali lagi. Eomma membelai lembut punggung tegap Park Jimin. Tinggi pria itu kini bahkan mengalahkan tinggi ibunya. Jimin balas memeluk.

“Sepeti kata Appa, aku akan kembali ketika aku berubah pikiran. Eomma, jagalah Appa dengan baik. Jangan mengkhawatirkanku, aku bisa menjaga diriku sendiri.” Setelah mengucapkan itu, Jimin melepaskan pelukan ibu dan menyandang tasnya, pergi dari rumah yang sudah dia tinggali hampir separuh hidupnya.

&&&&

            Pria itu berjalan menyusuri trotoar yang ramai dengan pengguna jalan lain. Entah itu seorang pria berkaca mata yang sedang terburu-buru bertemu dengan kliennya, seorang kakek yang duduk di bangku di bawah pohon sendirian, sepasang kekasih yang sedang berjalan sambil bergandengan tangan, dan ibu dengan kereta dorong bayinya. Kehidupan di luar sana jauh lebih menyenangkan dari apa yang selama ini dijalaninya. Pikirannya sedang kacau dan kalut sekarang. Dia bahkan tidak bisa pergi ke rumah temannya karena takut ayahnya akan menemukannya. Pria muda yang memakai topi dengan mulut  topi yang terbalik ke belakang itu terus berjalan tanpa tujuan yang pasti. Setidaknya cukup jauh sampai ibunya tidak dapat menemukannya.

            Seorang gadis berambut panjang yang membawa buku dari arah yang berlawanan berjalan menuju padanya. Jimin menggeser sedikit langkahnya agar gadis itu bisa lewat. Tapi anehnya gadis itu justru tetap menabraknya hingga buku-buku yang dibawa gadis itu jatuh berserakan di keramik trotoar. Apa gadis ini sengaja?

“Kenapa kau tidak hati-hati? Kau tidak lihat masih ada banyak ruang untukmu berjalan?” Tanya Jimin dengan ketus, suasana hatinya masih sangat buruk. Sejenak dia tidak memperdulikan gadis yang sibuk mengambil buku-buku itu. Gadis itu tampak kesulitan. Perempuan ini mengambil buku saja masih kerepotan? Apa dia harus mengajarinya?

Jimin mendengus lalu berjongkok dihadapan gadis  yang meraba-raba lantai untuk menemukan buku miliknya.

Tanpa menoleh sebelumnya pada gadis itu, Jimin mengambil 2 buku yang terjatuh. “Ini.” Pria itu menyodorkan buku milik si gadis. Jimin tertegun ketika mengamati wajah gadis itu.

“Terima kasih.” Ujar gadis itu sambil menganggukkan kepala. Tangan gadis itu meraba udara untuk menerima buku yang diambil Jimin. Mata indah gadis manis dengan bibir kecil itu selalu manatap dengan tatapan kosong. Seolah menemukan sesuatu tapi tidak dapat melihatnya.

Jimin melambaikan tangannya di depan wajah gadis itu. Tapi gadis itu sama sekali tidak terganggu atau merespon. Pria itu menutup mulutnya dengan tangan. Dia sangat menyesal telah mengucapkan kalimat kasar tadi.

“Maafkan aku, aku sama sekali tidak bermaksut melukai hatimu.” Kata Jimin buru-buru. Pria itu mengambil alih membawakan buku-buku milik gadis itu.

“Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja.” Kata gadis itu pelan.

“Aku akan mengantarmu sampai ke rumahmu.” Jimin menawarkan bantuan.

“Tidak apa-apa, aku bisa sendiri.” Gadis itu menolak, tangannya berusaha menggapai buku yang dibawa Jimin.

“Aku akan membantumu. Jadi tenanglah.” Bagi Jimin itu sudah kalimat paling sopan yang diucapkannya. Tapi, bagi gadis itu adalah kata-kata yang sangat memaksa.

“Tidak perlu, terima kasih banyak atas niat baikmu.” Gadis itu membungkuk dan berhasil merebut buku-buku itu. Dia mempercepat jalannya agar laki-laki yang suaranya sangat tidak dikenalinya itu pergi meninggalkannya. Meskipun begitu, Jimin tetap mengikutinya dari belakang.

Gadis itu memasuki sebuah toko buku. Jimin ikut masuk, untungnya gadis itu tidak akan tahu kalau dia sedang mengikutinya. Jadi dia santai saja.

“Ini sangat hebat! Dia bahkan hafal letak buku-bukunya.” Gumam Jimin kagum setelah melihat gadis itu memasukkan buku-buku kedalam rak dengan rapi. Akhirnya pria itu tahu kalau orang yang i’ikutinya adalah seorang penjaga toko buku yang juga sekaligus rental buku.

Jimin duduk disalah satu kursi kayu di antara rak-rak buku dekat dengan tempat kasir, pria itu menyandarkan kepalanya di atas meja. Bosan melihat gadis itu hanya menata buku dan melayani orang-orang yang mondar-mondir berkunjung ke toko, laki-laki itu akhirnya memilih membantu tanpa sepengetahuan si gadis manis berambut panjang bergelombang. Jimin memasukkan buku ke rak sesuai genre masing-masing. Tiba-tiba ada beberapa pria yang masuk sambil berteriak.

“Miwa-ah! Pagi yang cerah!” Seseorang pria sangar memakai jas dengan badan tegap menghampiri gadis bernama Miwa yang berdiri belakang meja kasir. Jimin mengamati pria itu dan dua orang pria pengikutnya. Satunya berbadan tinggi kerempeng memakai kaos, satunya lagi berbadan kecil tapi punya otot yang lumayan. Jimin sampai mengecek kembali ototnya. Apakah ototnya juga sebesar itu.

Pria itu menyandarkan sikunya di meja kasir, wajahnya tepat berada di depan wajah Miwa, si penjaga kasir. Tangannya menyentuh pipi Miwa dan tersenyum pada gadis itu. Percuma saja, gadis itu tidak akan tahu senyum liciknya. Pria itu memberi kode kepada kedua pengikutnya dengan anggukan kepala. Jimin hanya mengamati gerak-gerik 3 pria itu.

2 pria pesuruh laki-laki tadi pergi ke belakang meja kasir, sedangkan pria tadi berbincang-bincang dengan Miwa. Pria itu berbicara dengan sangat akrab seolah dia sangat mengenal gadis itu. Pria berotot itu membuka laci uang kasir tanpa suara, sedangkan si pria kerempeng  berjaga-jaga. Jimin mendelik, orang-orang itu mencuri uang dengan memanfaat keadaan gadis itu. Jimin sudah tidak dapat mengendalikan dirinya untuk tidak memarahi ataupun memukul orang-orang payah yang tidak punya perasaan itu.

“Apa yang sedang kalian lakukan tuan-tuan?” Tanya laki-laki maskulin memakai tank top itu dengan nada santai namun mengejek.

“Aku? Apa yang kulakukan?” Pria itu berjengit dan mencari alasan ketika seorang laki-laki remaja tiba-tiba memergokinya. Sedangkan gadis tadi mencari asal suara Jimin.

“Hey, kalian yang sedang mencuri uang! Berdirilah atau kulaporkan kepada polisi atas tindakan kalian!” Gertak Jimin membuat dua orang tadi langsung berdiri dan kembali ke belakang bos mereka dengan meninggalkan uang yang mereka kumpulkan.

“Apa-apaan kau bocah? Kami tidak melakukan apa-apa kan Miwa-ah?” Pria tadi bertanya pada Miwadengan suara manisnya yang menjijikkan. Tapi gadis itu diam saja.

“Cepatlah pergi dari sini! Semua orang tahu kalau kalian sedang mencuri uangnya!” Seru Jimin lagi. Semua pengunjung toko yang mendengar suara keras Jiminmelihat kearah mereka. Bahkan ada yang merekan kejadian ini. Pria tua sangar itu menggeram.

“Dia hanya gadis buta! Dia bahkan tidak membutuhkan uang-uang itu untuk dirinya sendiri! Awas kau bocah sialan!” Ancam pria perampok dengan kasarnya lalu menyuruh dua anak buahnya meninggalkan tempat itu. Setelah 3 pria tadi pergi, pengunjung banyak yang mendekati gadis tadi untuk menunjukkan rasa simpatinya, ada yang berbisik-bisik, ada salah satu pengunjung yang sudah menelepon polisi.

Saat pengunjung yang bergerumun tadi pergi, Jimin ingin ikut  pergi bersama pengujung tadi, tapi gadis itu sudah lebih dulu memanggilnya.

“Permisi, tuan pembela kebenaran.”

Apa dia bilang? Tuan pembela kebenaran? Itu nama yang sangat menggelikan.

“Aku?” Jimin menunjuk dirinya sendiri, tidak yakin kalau sebutan itu untuk dirinya. Gadis itu keluar dari meja kasir dan mendekati Park Jimin. Tangannya berusaha menggapai pria itu dan berhasil menyentuh lengannya.

“Terima kasih untukmu. Aku sangat berterima kasih.” Gadis itu membungkuk berterima kasih. Jimin balas sedikit membungkuk dengan senyum kikuk. “Tanpa bantuanmu, orang-orang itu besok pasti akan datang lagi dan lagi.”

“Tunggu, kau tahu kalau orang itu mengambil uangmu?” Jimin hampir tidak percaya.

“Sebenarnya aku sudah tahu mereka selalu datang kemari mengambil uang itu, tapi aku bisa apa? Orang-orang itu mungkin akan melukaiku.” Ujar gadis itu. Sesaat kemudian gadis itu tersenyum. "Tapi setidaknya aku sudah tahu dan sudah melakukan persiapan, aku tentu saja tidak menaruh semua uangku di laci.” Gadis itu tertawa pelan.

“Kau cerdik juga.” Kata Jimin.

“Terima kasih juga sudah membantuku merapikan buku. Aku tidak tahu balasan apa yang cocok untukmu.” Ungkap gadis itu. Jimin terkejut lagi. Gadis ini tidak sedang berakting kan?

“Kau tahu kalau aku... membantumu?”

“Aku tentu saja tidak hanya berdiam diri dengan keadaan diriku. Meskipun aku baru saja belajar bersosialisasi dengan lingkungan, tapi aku sudah tahu apa saja. Sekarang kau memakai baju warna putihkan? Oh, ini tank top?” Tebak gadis itu sambil menyentuh tank top yang dipakai Jimin. Pria manis itu semakin terkesima. Pandangannya berubah tentang orang-orang yang memiliki keadaan sama seperti gadis ini.

“Kau benar sekali. Kau benar-benar hebat!” Jimin bertepuk tangan.

“Namaku, Cho Miwa. Senang bertemu denganmu.” Gadis itu memperkenalkan namanya.

“Namaku Park Jimin. Senang juga berkenalan denganmu.” Pria itu balas memperkenalkan diri. Jimin berpikir sejenak. Ini mungkin ide yang sangat nekat.

“Miwa-sshi.” Panggil Jimin. Pria itu meneguk ludahnya. “Sebenarnya aku tidak memaksamu menerima permintaanku. Tapi kalau bisa, bisakah aku tinggal di sini sebentar? Sampai keadaan membaik.”

Gadis itu terhenyak. “Hah?”

&&&&

            Jimin duduk mendongakkan kepalanya mengamati bintang di teras belakang rumah bernuansa kayu itu. Pria itu menghela nafas. Memikirkan kembali kejadian tadi pagi benar-benar akan membuatnya gila. Ini pertama kalinya dia kabur dari rumah, dan ini pertama kalinya dia membentak orang tua yang disayanginya.

“Jimin-sshi.” Miwa memanggil. Membuat Jimin sedikit terkejut. Pria itu menoleh kebelakang dan membantu gadis itu.

“Apa yang sedang kau pikirkan?” Tanya Miwa. Kaki rampingnya berayun-ayun di bawah teras kayu.

“Tidak ada.” Jimin berbohong.

“Akan sangat melegakan kalau kita saling berbagi cerita.” Ujar Miwa dengan senyum. “Aku akan mulai dengan ceritaku. Setelah itu ceritamu.” Miwa menarik nafas sebelum bercerita.

“Aku kelihangan penglihatanku saat berumur 5 tahun, karena demam tinggi. Aku tidak punya orang tua. Aku berasal dari panti asuhan, nenek pemilik toko buku ini mengadopsiku. Nenek mendaftarkanku sekolah di sekolah khusus selama aku menjadi anaknya. Jadi, aku tidak akan terlalu merepotkan nenek yang berdo’a di surga sana untukku. Beliau meninggal 2 tahun yang lalu. Dan 2 tahun itu aku hidup sendirian.” Ada jeda sejenak, gadis itu menghela nafas.

“Beliau selalu berkata padaku. ‘Jadilah orang yang berguna untuk diri sendiri dan orang lain. Tidak peduli seperti apa keadaanmu, jangan menyerah dan lakukan kebaikan sebanyak mungkin selama kau masih bisa bernafas.’. Bukankah itu kalimat yang sangat keren?” Pertanyaan itu mengakhiri ceritanya. Jimin belum menjawab, laki-laki itu masih diam. Ini mirip seperti di film, tapi ini kenyataan. Badan boleh kekar, tapi dia hampir saja menangis karena terlalu menghayati cerita gadis yang duduk di sampingnya ini.

“Jangan bilang kau menangis!” Miwa menepuk keras punggung Jimin. Tentu saja dia menangis, suasana saat ini bahkan sangat mendukungnya untuk menangis. Laki-laki itu selalu yakin, orang-orang yang mempunyai fisik yang tidak sempurna seperti Miwa pasti selalu mempunyai  hati yang besar untuk terus menjalani hidup.

“Baiklah, aku akan cerita.” Kata Jimin setelah mengusap pelupuk matanya yang berair. “Seperti yang kau tahu. Aku pergi dari rumah. Ayahku memintaku untuk sekolah di luar negeri sebagai seorang dokter, profesor, apapun lah itu. Tapi itu berbeda dengan keinginanku. Aku ingin ikut tes pencarian bakat dan menjadi penyanyi. Sebenarnya aku sendiri tidak yakin apa cita-citaku. Saat masih kanak-kanak aku berkata dengan mudah ingin menjadi apa ketika dewasa. Sekarang, untuk mewujudkannya saja susah sekali. Entahlah, menjadi penyanyi atau pegawai kantor mungkin cocok juga untukku.” Jimin mendesah berat.

Untuk saat ini dia mulai menyesali apa yang dilakukannya. Kabur dari rumah? Itu memang hal bodoh dan paling kekanak-kanakan. Tapi apa untungnya tetap mengikuti keinginan orang tua kalau dia sendiri tidak nyaman menjalaninya.

“Laki-laki memang sangat keren. Mereka sangat tegar.” Kata Miwa takjub. Apa yang harus ditakjubkan? Jimin tidak mengerti.

“Itu hanya dari apa yang terlihat. Bukan dari apa yang dirasakan.” Ungkap Jimin pelan.

“Tapi aku merasakannya.” Kata Miwa. Gadis itu menarik lengan Jimin, mendekatkan laki-laki itu padanya. Tangan gadis itu bergerak menepuk lalu mengelus punggung tegap Jimin.

“Nenek selalu melakukan ini saat aku sedih.”

“Terima kasih banyak, Miwa-sshi.”

&&&&

            Silaunya lampu kamar membuat mata Jimin yang masih mengantuk serasa terkena serangan. Laki-laki itu mengucek matanya dan langsung terduduk begitu melihat Miwa berdiri di ambang pintu untuk menyalakan lampu, karena sakelarnya tertempel di dinding dekat pintu. Kemarin malam Jimin dan Miwa memang tidur satu kamar karena hanya ruangan itu yang cukup lebar di rumah, cuma mereka memakai Futon yang berbeda. (sejenis kasur dan selimut hangat yang tinggal digelar di lantai. Author pake bahasa jepang soalnya nggak tau bahasa koreanya Futon apa.)

“Miwa-sshi, kau sudah bangun?” Tanya Jimin masih setengah mengantuk. Laki-laki itu menguap.

“Aku selalu bangun pagi-pagi. Kalau kau masih ingin tidur, aku akan mematikan lampu untukmu.” Miwa hampir mematikan lampu lagi, tapi Jimin mencegahnya.

“Tidak perlu. Aku sudah bangun.” Jimin langsung berdiri dan menyingkir dari kasur. Kasur milik Miwa ternyata sudah terlipat rapi di sudur ruangan. Gadis itu berjalan mendekat kepada Jimin.

“Aku akan melipatkannya.” Kata Miwa.

“Tidak perlu, aku bisa melakukannya.” Cegah Jimin yang ternyata masih kesusahan melipat  selimut yang lebar dan tebal itu. Itu masih selimut, belum kasurnya. Miwa tetap saja berjalan mendekati Jimin yang duduk berjongkok. Gadis itu menabrak punggung Jimin, untungnya dia tidak jatuh.

“Mianhae. Aku tidak tahu.” Miwa mundur selangkah. Jimin tertawa.

“Sudah kubilang, aku bisa sendiri.” Jimin mengamati Miwa dari atas sampai bawah. Gadis ini punya mata lebar dan bulu mata yang cantik. Rambut panjangnya terlihat basah, dia sehabis mencuci rambutnya. Dadanya putih. Putih? Jimin mendelik lalu berbalik. Astaga, apa yang baru saja dilihatnya. Gadis itu lupa belum mengancingkan kancing baju bagian kerah leher. (Author malu sendiri.)

“Jimin-sshi, kau yakin bisa melipatnya sendiri?” Tanya Miwa. Jimin tidak berani menoleh.

“Aku bisa, aku sangat bisa!” Laki-laki itu gugup. “Tapi sebelumnya, tolong kancingkan dulu!”

“Kancingkan? Yang mana?” Miwa jadi ikut gugup. Mana yang belum dikancing? Dia tidak tahu. Gadis itu berbalik lalu bejongkok.

“Leher!” Seru Jimin menyentuh dadanya sendiri.

“Kau melihatnya?” Tanya Miwa panik.

“Kau tenang saja, lagi pula tidak terbuka terlalu lebar.”

Miwa menghela nafas lega. Syukurlah. Setelah mengancingkannya dengan benar. Gadis itu pergi pelan-pelan dari tempat itu. Dia malu sekali. Jimin ikut menghela nafas. Ya ampun, pagi-pagi sudah ribut.

            Setelah sarapan pagi buatan Miwa. Jimin memilih membantu gadis itu menjaga toko. Laki-laki itu mendedikasikan dirinya untuk menyapu lantai. Sedangkan Miwa mengelap meja.

“Biasanya aku minta bantuan tetangga untuk menyapu, karena ada Jimin-sshi aku jadi terbantu.” Kata gadis itu beralih mengelap sisi meja yang lain.

“Yah, ini bukan tugas yang berat untukku.” Jimin memang sudah biasa menyapu.

Pertama kali menjaga toko cukup membuat Jimin senang dengan pengalaman barunya. Senang melihat pengunjung mendatangi toko dan membawa beberapa buku untuk dibeli. Toko jadi ramai ketika siang hari. Dan dia mulai sibuk merapikan kursi dan buku.

“Miwa-sshi, toko ramai sekali. Kau tidak bingung?” Tanya Jimin menyenggol lengan Miwa yang sedang berjaga di kasir.

“Tidak, aku sudah biasa.” Kata Miwa santainya. Jimin mengangguk-angguk. Tiba-tiba terdengar suara balita menangis. Jimin dengan cepat menoleh dan menggendong balita menggemaskan itu agar tidak menangis.

“Aigoo, kwenchana eoh. Kwenchana.” Jimin menepuk-nepuk punggung balita laki-laki itu. Dia ingin menunjukkannya pada Miwa juga.

“Miwa-sshi. Anak ini-“ Jimin tercekat begitu menoleh ke belakang. Miwa tentu saja tidak dapat melihat betapa lucunya anak yang digendongnya. Seorang wanita tiba-tiba datang menghampirinya dengan panik.

“Aigoo, terima kasih banyak. Kupikir anakku hilang.” Jimin memberikan balita manis itu kepada ibunya. Wanita berambut pendek itu memperhatikan Jimin. Laki-laki ini terlihat asing.

“Siapa laki-laki tampan ini?” Wanita itu tersenyum lebar. “Akhirnya Miwa-ah mempunyai seseorang untuk membantunya.” Wanita itu menepuk-nepuk punggung Jimin keras seolah sudah mengenal laki-laki itu lama sekali. “Dia juga sangat keren.”

Miwa yang sudah sangat mengenali suara wanita itu langsung menyahut. “Nyonya Shin, dia temanku. Namanya Jimin. Park Jimin.”

“Jimin-sshi, jagalah Miwa-ah untukku. Kau tahu, dia sangat pemalu.” Ujar wanita lalu pergi sambil menggendong bayinya setelah membayar sewa harga buku dongeng untuk anaknya. Jimin asal mengangguk, agar si ibu tadi merasa senang.

            Toko tutup pukul 21.00, dan sampai saat itu orang-orang jahat kemarin sama sekali tidak terlihat. Mungkin polisi sudah menangkap mereka. Atau kalau mereka masih punya harga diri, mereka tidak akan kembali. Jimin dan Miwa merapikan buku-buku yang berserakan di meja.

“Miwa-sshi, berapa umurmu? Aku belum tahu.” Tanya Jimin sambil merapikan buku.

“Umurku 20 tahun, Jimin-sshi?”

“Umurku 20 tahun.”

“Ku pikir kau lebih muda dariku.” Kata Miwa tergelak.

“Aku tidak semuda itu.” Jimin menggeleng di sertai tawa.

 ~ TBC ~

Aku dateng bareng Chim-Chim nih! Langsung baca aja chapter selanjutnya kalau penasaran, langsung aku post kok...









0 komentar:

Posting Komentar