Senin, 01 Februari 2016

Married? 18 Years?



Married? 18 Years?
     
   
 
 Maried? 18 Years?
Yoon Sa Shi
Kim Tae Hyung (BTS), Kim Rae Yeon (Yourself), Jeon Jung Kook (BTS)
Married, life, school, funny, romance
One Shoot



~ Happy Reading~

            “Aku berangkat!” Seru Kim Rae Yeon dengan semangatnya. Gadis cantik dengan rambut hitam lurus yang diikat ekor kuda itu segera menyambar tasnya setelah menyuapkan beberapa sendok sereal ke mulutnya.
“Hati-hati di jalan! Jangan lupa telepon ketika pulang sekolah agar aku bisa menjemputmu!” Seorang pria dengan kaos putih berlengan panjang yang mencetak bentuk bahunya muncul dari arah pintu. Mengingatkan Rae Yeon.
“Aku tidak mau dijemput. Aku bisa pulang sendiri.” Gadis itu langsung menolak. Tangannya sibuk memasukkan kaos kaki di kakinya yang ramping.
“Kenapa kau selalu menolak untuk menjemputmu? Ibumu bisa marah lagi padaku!” Tae Hyung tidak mengerti. Dia mencoba menjalankan tugasnya dengan baik, tapi gadis bandel ini justru menolaknya. Siapa juga yang nanti disalahkan kalau terjadi sesuatu dengan anak itu? Tentu saja dia lagi.
“Aku sudah biasa pulang dengan Jung Kook. Kau kan tau sendiri?” Gadis itu berdiri ketika selesai memakai sepatunya dan bersiap keluar dari rumah. Rumah mereka berdua.
“Yah, pulang-pulanglah sana sendiri.” Tae Hyung tidak peduli. Pokoknya dia tidak mau tahu. Mau gadis itu pulang dengan jalan kaki, naik bus, atau pakai apapun, dia tidak peduli. Bersikap manis justru hanya membuatnya risih sendiri. Percuma, gadis itu selalu acuh padanya.
Rae Yeon akhirnya berangkat ke sekolah setelah membungkuk 180 derajat kepada Tae Hyung. Tae Hyung menghela nafas dan pergi ke belakang menyiapkan perlengkapan kerjanya.
&&&&
“Rae Yeon-sshi!” Suara bisikan berkali-kali dari Jung Kook membuatnya terbangun dari tidur singkat yang baru 1-2 menit dia lakukan.
“Kau tidur lagi? Sonsaeng bisa membanting buku di mejamu lagi seperti kemarin.” Jung Kook mengingatkan. Sudah kewajibannya mengingatkan gadis itu karena mejanya bersebelahan dengan meja Kim Rae Yeon. Gadis itu mengusap wajahnya dan mengangkat kepalanya.
“Gomawo.” Sesaat kemudian gadis itu berusaha sebisa mungkin berkonsentrasi dengan pelajaran membosankan yang diterangkan guru Nim di depan.
            “Rae Yeon-ah.” Panggil Jung Kook lagi. Mereka seperti biasa selalu pulang sekolah bersama. Gadis itu menoleh dengan alis terangkat.
Jung Kook mengusap tengkuk lehernya, merasa gugup mengatakan keinginannya. “Akhir pekan besok, aku sedang ada waktu luang. Kursus dance dan menyanyiku libur.” Kata laki-laki itu. Kulit wajahnya yang putih terlihat memerah. Rae Yeon tersenyum geli lalu menabrak lengan Jung Kook dengan lengannya karena laki-laki itu tidak segera bilang.
“Kau ini tidak perlu malu-malu.”
“Anu.” Jung Kook menatap wajah Rae Yeon dengan tatapan kaku namun gugup. Wajahnya yang terlihat polos makin terlihat polos saja. “Kalau ada waktu, tolong jalan-jalanlah denganku!”
Rae Yeon terkejut. Bukan 1 atau 2 kali Jung Kook mengajaknya jalan-jalan. Tapi kali ini wajah laki-laki itu terlihat serius tidak seperti biasa. Gadis itu tertawa. “Kita sudah sering pergi bersama-sama. Tidak perlu seformal itu meminta kepadaku. Untukmu, aku selalu ada waktu!” Ujar Rae Yeon genit dengan maksut bercanda. Gadis itu tersenyum lebar, menyenangkan melihat Jung Kook tersipu-sipu seperti itu. Sahabatnya yang satu ini memang sangat menawan di sekolah maupun di luar sekolah. Punya teman yang populer adalah sebuah kebanggaan tersendiri.
            “Jalan-jalan?” Tae Hyung balik bertanya. Gadis itu menceritakan kepada pria yang berusia lebih tua 5 tahun darinya itu tentang ajakan Jung Kook jalan-jalan sesampainya dia di rumah.
Pria muda itu diam sejenak lalu kembali menghadap laptopnya. “Jalan-jalan sana.”
Rae Yeon menekuk wajahnya, bagaimana bisa laki-laki ini tidak perduli apapun kegiatan yang dilakukannya. Meskipun tinggal berdua bersama dengan laki-laki ini, tapi rasanya seperti tinggal sendirian. Dia seperti tembus pandang karena Tae Hyung selalu tidak perduli padanya. 
“Ya sudah, jadi jangan cari aku!” Tukas Rae Yeon. Beberapa saat kemudian dia ingat sesuatu. “Mau makan apa?”
“Pizza dan ayam.” Jawab pria itu singkat.
“Apa? Kemarin kau minta Pizza dan ayam. Tidak mungkin makan itu lagi. Mintalah sesuatu yang bisa kumasak. Bahan masak di lemari es lebih baik kuberikan ke tetangga karena tidak pernah dipakai.” Gadis itu berceloteh panjang lebar. Tae Hyung langsung menjepit bibir gadis itu dengan jarinya.
“Kalau begitu masaklah nasi. Kau tidak bisa masak tapi ngotot masak.” Tae Hyung melepas tangannya dan pergi keluar dari kamar setelah mengucapkan itu.
“Aku bisa masak! Kau saja yang tidak pernah minta aku memasak!” Teriak Rae Yeon dari dalam kamar.
            “Bagaimana? Masakkanku sudah seperti masakan koki bintang lima kan?” Rae Yeon begitu pecaya diri dengan semua masakan buatannya yang tertata rapi di atas meja.
Tae Hyung belum mengatakan apapun setelah mencicipi sayur dan ikan yang terlihat menggiurkan di meja. “Lumayan. Aku akui kau bisa masak.” Tae Hyung mengangguk-angguk kan kepalanya. Tiba-tiba kedua tangan Rae Yeon sudah terjulur dan menengadah di atas mangkuk nasi Tae Hyung. “Ada apa? Kau minta apa?”
Rae Yeon menggingit bibir bawahnya dengan senyum malu-malu. Itu berarti dia minta sesuatu. Tae Hyung berdecak.
“Tidak mau. Uangku terlalu berharga untuk kau buang-buang.” Tae Hyung menyingkirkan tangan gadis itu dengan sumpit.
“Tapi aku akan pergi jalan-jalan. Aku tidak punya uang.” Rengek Rae Yeon. Tae Hyung mencubit hidung Rae Hyung hingga hidung gadis itu terlihat merah.
“Kalau tidak ya tidak! Dasar boros!” Laki-laki itu menjulurkan lidahnya dan kembali makan. Rae Yeon tidak bisa terima perlakuan itu, dia merebut mangkuk nasi milik Tae Hyung.
“Kau tidak boleh makan! Masakanku juga terlalu berharga untuk kau makan!”
Tae Hyung melotot dan berusaha kembali merebut mangkuk nasinya. Rae Yeon tidak mau kalah.

&&&&

            “Siap!” Rae Yeon merasa puas dengan penampilannya pagi ini. Di semakin telihat childish dengan bandana dan dress sepaha dengan  bagaian bawah mengembang. Tae Hyung sudah berangkat kerja pagi-pagi sekali.
“Sampai saat itu dia belum memberiku uang!” Gerutu Rae Yeon di depan cermin. Dia mencari lips balmnya dan menemukan sesuatu yang tertindih di bawah kotak rias. Uang, uang yang cukup banyak.
“Aku menarik perkataanku.” Rae Yeon memukul pelan mulutnya dan tersenyum puas melihat uang pemberian diam-diam dari Tae Hyung.
            “Jung Kook-ah!” Rae Yeon melambaikan tangannya seraya setelah melihat laki-laki itu sudah berdiri di bawah tiang lampu jalan. Jung Kook tersenyum ketika Rae Yeon berjalan mendekat ke arahnya.
“Woah, Kim Rae Yeon, kau terlihat luar biasa!” Jung Kook memuji penampilannya.
“Tentu saja, aku membutuhkan waktu yang lama untuk ini.” Tutur Rae Yeon bangga. Dia juga memperhatikan penampilan Jung Kook. “Kau juga terlihat keren!”
“Benarkah?” Jung Kook mengamati penampilannya sendiri. Laki-laki ini selalu terlihat keren memakai pakaian apapun. Meskipun memakai kostum beruang ketika festival sekolah, dia malah terlihat sangat lucu.
“Kita mau pergi ke mana?” Tanya Rae Yeon setelah itu.
            “Hah?” Rae Yeon tidak habis pikir dengan tempat pilihan Jung Kook. Tapi mau bagaimana lagi, laki-laki itu terlihat menikmati tempat pilihannya sendiri.
“Lihat, singa itu tidurnya sepertimu! Tidak bangun-bangun!” Tunjuk Jung Kook kepada singa jantan bersurai menganggumkan dengan badan sangat besar yang sedang tidur di rerumputan. Dia tertawa hingga perutnya sakit setelah puas mengejek Rae Yeon.
“Apa maksutmu? Mau kuhajar?!” Rae Yeon menimpuk Jung Kook dengan tas kecil yang dipakainya. “Kebun binatang? Dasar anak-anak!” Gadis itu balas mengejek.
“Semua orang suka kebun binatang, siapa yang tidak suka kebun binatang?” Jung Kook mencoba membela diri.
Rae Yeon melihat singa yang berada di dalam jeruji besi itu dengan senyum simpul. Dia ingat seseorang.
“Dia mirip sekali dengan singa itu.” Gumamnya. Jung Kook menoleh karena mendengar gumaman Rae Yeon.
“Siapa?” Tanya Jung Kook penasaran.
“Tae Hyung-Oppa.” Jawab gadis itu.
“Orang yang tinggal bersamamu itukan? Kenapa?” Raut wajah Jung Kook berubah, terlihat tidak suka menanyakan itu tapi tetap menanyakannya.
“Singa itu meskipun terlihat tidak peduli, tidur terus dan hanya makan. Tapi singa jantan itu selalu berusaha yang terbaik untuk melindungi anggota kelompoknya. Ya, singa itu sama dengan dia.” Rae Yeon mengangguk mengiyakan pendapatnya sendiri.
“Aku juga bisa seperti itu.” Tukas Jung Kook pelan.
“Pasti akan jadi singa kecil lucu yang bekerja keras melindungi teman-temannya.” Timpal Rae Yeon tersenyum lebar, sangat manis dengan senyum tiga jarinya.
“Tidak. Aku bisa melindungimu lebih baik dari pada dia.” Rae Yeon terkejut. Sejak kapan topik ini jadi membahas tentang dirinya?
“Ya, kau pasti bisa.” Rae Yeon asal mengangguk. Gadis itu masih belum mengerti juga dengan tatapan tidak habis pikir dari Jung Kook.
“Rae Yeon-sshi.” Laki-laki itu tiba-tiba menarik pergelangan tangannya dan berdiri menghadapnya. Punggung gadis itu menekan pembatas kayu yang membatasi area pengunjung dengan kandang singa karena laki-laki itu yang semakin mendekat kepadanya.
“Ada apa ini?” Gadis itu masih saja tertawa pelan meskipun tawanya terdengar kikuk dan gugup dengan tingkah Jung Kook. Wajah laki-laki itu semakin mendekat hingga dia bisa merasakan nafas laki-laki itu di pipinya. Mata laki-laki itu terpejam, sedangkan matanya melebar. Bibirnya menghangat meskipun hanya dalam waktu beberapa detik.
“Aku menyukaimu. Aku akan melindungimu. Meskipun bagimu aku hanya seorang laki-laki yang terlihat kekanak-kanakan. Tapi aku akan membuktikan kepadamu kalau aku bisa lebih baik dari pria itu.”
Rae Yeon tidak dapat mengatakan apapun dan hanya menutupi mulutnya dengan telapak tangannya. Apa itu tadi? Apa itu barusan sebuah ungkapan perasaan?
“Aku,” Otaknya serasa tidak bisa berfungsi. Ini terlalu mendadak dan mengejutkan.
“Tidak perlu menjawabnya sekarang.” Jung Kook tersenyum lembut padanya dan menggenggam erat tangannya.
&&&&

            “Dia bilang begitu. Aku harus bagaimana?” Rae Yeon menceritakan kejadian tadi di kebun binatang kepada Tae Hyung yang berbaring di kasur sambil bermain game di I-pad.
“Bagaimana apanya?” Tae Hyung balik bertanya tanpa menoleh, serius dengan game Mario-nya. Rae Yeon memutar bola mata. ‘orang ini benar-benar.’.
“Kau tidak apa-apa?” Tanya gadis itu. Jangan bilang kalau Tae Hyung akan mengatakan ‘pacaran saja sana.’
“Aku? Kenapa tanya aku? Kau ini tadi bilang apa?” Tae Hyung menoleh.
Rae Yeon mendelik. Laki-laki ini tidak mendengarkan ceritanya sama sekali? Pria ini hampir membuatnya gila.
“Menurutmu bagaimana? Ceritaku tadi. Aku harus menerimanya atau menolaknya?” Tanya Rae Yeon dengan segala penekanan. Sebenarnya tanpa perlu tanya pada Tae Hyung, dia tentu pasti sudah mengerti kalau menerima Jung Kook adalah keputusan yang tidak benar. Dia hanya ingin tahu keperdulian pria itu.
“Menerima atau menolak?” Ada jeda sebentar karena laki-laki itu sedang berpikir. “Kalau itu hal bagus, maka terimalah.”
Bagaikan ditabrak kereta api, bagaimana mungkin pria ini menyetujui begitu saja? Lihat ekspresi wajahnya, seperti tidak memiliki perasaan apapun sehabis mengucapkan itu. Ini benar-benar keterlaluan.
“jadi, harus kuterima?” Tanya Rae Yeon lagi dengan pelan. Tae Hyung mengangguk sambil terus memainkan gamenya. Gadis itu ingin menangis, tapi untuk apa dia menangisi pendapat laki-laki tidak peka ini? Kini dia hanya mengerti satu hal. Ternyata bagi pria ini, status mereka yang selalu disembunyikan dari orang-orang bukan hal penting baginya.
“Aku tidak mau tidur sekamar denganmu lagi! Jangan minta aku membuat makanan lagi! Jangan minta aku merapikan dasimu! Jangan minta aku melakukan apapun untukmu!” Gadis itu berteriak-teriak setelah melompat dari kasur.
“Kim Rae Yeon! Rae Yeon-ah!” Gadis itu pergi meningalkan kamar begitu saja setelah berteriak-teriak tidak jelas. Menyisakan kebingungan bagi Tae Hyung.
“Sebenarnya dia tadi cerita apa?”
&&&&
            “Katanya tidak mau memasak?” Timpal Tae Hyung diwaktu yang tidak tempat. Pria ini tidak tahu berapa banyak tisu yang Rae Yeon habiskan kemarin malam hanya untuk menangis. Mata Rae Yeon terlihat bengkak paginya ketika Tae Hyung baru saja memasuki dapur dan melihat gadis itu menyiapkan sarapan.
“Duduk saja dan makanlah.” Kata Rae Yeon dengan suara serak khas orang sehabis menangis.
Tae Hyung melihat Rae Yeon tidak ceria dan menyebalkan seperti biasa, pria itu berdiri dari duduk dan berjalan mendekati gadis itu.
“Eits, mau apa?” Rae Yeon segera berbalik dan mundur ketika tangan pria itu hampir menyentuh pundaknya.
“Kau kemarin malam menangiskan? Iyakan?” Tanya Tae Hyung sambil menunjuk matanya sendiri karena melihat mata Rae Yeon yang bengkak.
“Untuk apa aku menangis? Air mataku terlalu mahal dibuang-buang untuk hal yang tidak berguna.” Rae Yeon masih saja mengelak kebenaran. Tae Hyung menatap wajah Rae Yeon yang kembali memasak dengan tatapan bersalah.
“Aku minta maaf.”
“Apa?” Ini pertama kalinya Rae Yeon mendengar kalimat minta maaf dari pria itu selama mereka tinggal bersama untuk 8 bulan ini.
“Aku minta maaf. Ku pikir aku melakukan kesalahan.” Kata Tae Hyung lagi.
“Iya, kau melakukan kesalahan yang sangat besar.” Rae Yeon melepas celemeknya dan pergi begitu saja setelah mengambil tasnya yang berada di salah satu kursi makan.
“Selalu saja begitu.” Desah Tae Hyung menggaruk keningnya sendiri.
&&&&
            “Jung Kook-ah, ada apa?” Tanya Rae Yeon ketika melihat Jung Kook sudah berdiri di sebelah mejanya saat beberapa kerumunan anak perempuan seusianya pergi menjauhi meja Rae Yeon. Gadis itu sehabis mengobrol dengan teman-teman sesama perempuannya.
Laki-laki itu menghela nafas panjang ketika Rae Yeon menanyakan pertanyaan itu. Gadis ini terlalu tidak peka atau apa?
Jung Kook menarik tangan Rae Yeon keluar dari kelas, membawanya ke suatu tempat yang tidak terlalu banyak siswa melintas.
“Jung Kook-ah.” Rae Yeon bingung ketika Jung Kook hanya diam sambil menundukkan kepalanya dengan kedua tangan tersaku. Laki-laki ini marah? Kenapa semua laki-laki yang ditemuinya jadi gila seperti ini?
“Rae Yeon-ah.” Jung Kook memandang wajah Rae Yeon sekilas.
Rae Yeon diam. Dia ingat sekali apa yang Jung Kook ucapkan ketika di kebun binatang kemarin. “Kalau soal itu aku...” Diam sebentar dengan tawa kaku. “Aku tidak tahu harus bilang apa. Aku antara bingung harus memilih iya atau tidak.” Katanya dengan pelan. Matanya menunduk mengamati sepatu kets-nya sendiri.
Laki-laki itu mengambil pergelangan tangan kanannya dan menggenggamnya. “Bersamalah denganku.” Kata Jung Kook menatap mata Rae Yeon. Gadis itu tidak dapat berhenti menatap mata Jung Kook yang sekarang terlihat serius. Dia marah pada Tae Hyung, tapi dia juga ingin bahagia dengan orang yang betul-betul menyukainya. Tapi kalau ini...
“Kita jalani secara perlahan.” Kata laki-laki itu lagi. Berusaha meyakinkan gadis yang begitu disukainya selama ini.
“Aku akan mencoba.” Rae Yeon mengangguk ragu.
Jung Kook tersenyum tidak percaya. “Aku bisa gila karenamu.” Laki-laki itu langsung memeluk Rae Yeon gemas seperti seorang anak kecil yang memeluk bonek teddy besar.
            “Rae Yeon-ah, setelah ini kau ingin pergi kemana?” Tanya Jung Kook ketika mereka pulang sekolah. Rae Yeon sedikit mendongakkan kepalanya ke atas, berpikir.
“Maksutnya?”
“Tempat yang ingin kau kunjungi. Kau ini tidak berubah sama sekali.” Jung Kook memperjelas sambil tertawa renyah karena ke tidak peka-an Rae Yeon.
“Aku ingin makan kembang gula kapas, pop corn caramel, dan croisant di taman kota.” Rae Yeon menyebutkan satu-persatu makanan yang disukainya dan menyebutkan sebuah tempat yang ingin didatanginya.
“Kau ini suka sekali makan, kau bahkan menyebutkan lebih banyak nama makanan dari pada nama tempat yang ingin kau kunjungi.” Jung Kook mengacak kepala Rae Yeon dengan senyum mengembang. Lihat, sekarang siapa yang anak kecil di sini?
&&&&
            “Bagaimana?” Tanya Jung Kook kepada Rae Yeon yang sibuk makan kembang gula kapasnya.
“Kembang gula kapasnya enak, rasanya manis.” Jung Kook tertawa mendengar jawaban gadis itu. Di mana-mana kembang gula rasanya manis.
“Wae? Kau bertanya, aku menjawabnya.” Rae Yeon mengangkat pundaknya. Laki-laki itu tertawa lagi. Dia banyak tertawa jika bersama gadis ini.
Tanpa gadis itu sadari, seseorang memperhatikannya dari kejauhan. Diantara orang-orang yang berlalu lalang sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
“Tae Hyung-sshi, apa yang kau lakukan? Jadi makan siang tidak?” Seorang pria memakai kemeja berwarna ungu menepuk pundaknya. Pria yang ditepuk pundaknya itu menoleh dan sedikit berjengit.
“Iya. Aku hanya melihat sesuatu yang menarik.” Tae Hyung mendorong punggung teman sekantornya lalu pergi dari tempat itu tanpa menoleh lagi pada kedua orang tadi.
&&&&
            “Aku pulang!” Seru Rae Yeon ketika sampai di rumah. Gadis itu berharap Tae Hyung belum pulang karena dia pulang terlambat sekali hari ini. Dia melepas sepatunya lalu pergi ke kamar untuk ganti baju. Tetapi dia sangat terkejut ketika Tae Hyung sudah berada di kamar. Laki-laki itu duduk bersila dan mengetik sesuatu di laptopnya. Rae Yeon pura-pura tidak tahu dan memasuki kamar untuk mencari baju rumah.
“Kemana saja?” Tanya Tae Hyung tanpa menoleh. Pria itu masih serius dengan pekerjaannya. Baru kali ini dia terlihat serius, padahal biasanya selalu menyebalkan.
“Kemana? Sehabis pulang sekolah aku pergi jalan-jalan.” Jawab Rae Yeon seadanya. Gadis itu membuka lemari lalu mengambil kaos dan celana pendek.
“Kenapa jalan-jalan lama sekali?” Tanya pria itu lagi. Nada suaranya datar.
“Kenapa?” Rae Yeon balik bertanya dengan tangan tertekuk di pinggang. “Kenapa tiba-tiba kau jadi peduli apa kegiatanku? Memangnya apa pedulimu? ”
“Apa?” Tae Hyung menoleh. Ekspresi pria itu antara tidak habis pikir, bingung dan heran dengan sikap gadis ini. “Tentu saja aku peduli.”
Tae Hyung bangkit dari duduknya dan turun dari kasur. Berdiri berhadapan dengan Rae Yeon lalu mencengkram lengan Rae Yeon.
“Kau mau apa? Kau yang mengijinkannyakan?” Rae Yeon mengangkat wajahnya.
“Mengijinkan apa?”
“Kenapa kau bertanya? Kau sendiri yang memintaku menikah denganmu. Tapi kau justru mengijinkan hal itu. Kau pikir aku akan terus mengalah padamu? Kau seharusnya perlakukan aku dengan baik.” Pundak gadis itu naik turun karena mengucapkan rentetan kalimat tadi hampir tanpa bernafas. Rae Yeon pergi dari kamar begitu saja. Meninggalkan Tae Hyung yang masih berdiri ditempatnya tanpa mengucapkan sepatah katapun.
&&&&
            “Rae Yeon-ah, kau tidak apa-apa?” Rae Yeon terkejut ketika Jung Kook memanggil dan menepuk bahunya. Gadis itu menoleh.
“Tidak apa-apa. Kenapa kau tidak makan?” Terbalik, harusnya Jung Kook yang menanyakan itu. Gadis itu makan sedikit-sedikit lalu mengaduk-aduk nasi yang masih tersisa banyak.
“Makanlah yang banyak. Kalau kau kurus, aku tidak bisa mencubit pipimu lagi.” Kata laki-laki itu sambil mencubit pipi Rae Yeon. Gadis itu mengusap pipinya lalu mengangguk mengerti.
Rae Yeon berusaha makan, tapi pikirannya selalu kembali kepada apa yang terjadi tadi pagi sebelum berangkat sekolah. Tae Hyung tidak menyapanya, tidak bertanya atau mengatakan apapun padanya. Pria itu tidak cerewet seperti biasa. Juga tidak mengkritik sarapan pagi buatannya. Ketika berpapasan, pria itu hanya melihatnya sebentar lalu melenggang pergi. Mungkin kata-katanya kemarin terlalu kasar untuk pria itu.
            “Aku pulang!” Rae Yeon membuka pintu dan keadaan rumah masih gelap. Itu berarti Tae Hyung belum pulang. Tapi hari ini dia pulang terlambat lagi. Bukan karena jalan-jalan, tapi untuk berbelanja kebutuhan masak. Pria itu biasanya sudah kembali pada jam seperti ini.
Rae Yeon menyalakan lampu lalu menaruh belanjanya di meja dapur. Pergi ke kamar dan mengganti pakaiannya. Gadis itu kembali ke dapur untuk memasukkan semua barang belanjaan ke lemari es. Beruntung sekali dia sudah jago bersih-bersih rumah dan memasak. Jadi memasak apapun bukan masalah baginya.
“Hah! Dia bilang aku tidak bisa masak?” Rae Yeon berdecak dan menggerutu tidak jelas pada diri sendiri. Telepon rumah berdering ketika dia memasukkan daging sapi ke freezer. Gadis itu segera menghampiri telepon rumah yang berada di ruang tengah.
“Yeoboseo? Rae Yeon-ah?” Suara yang sangat di kenalinya.
“Ibu! Ibu, kenapa menelepon?” Tanya Rae Yeon.
“Tentu saja karena ibu khawatir denganmu dan menantuku. Kau baik-baik sajakan? Kenapa ibu yang terus meneleponmu? Sesekali kaulah yang menelepon ibu.” Ibu mengeluh.
“Aku baik-baik saja. Kemarin aku sudah menelepon untuk bertanya. Jadi tidak perlu telepon lagi.” Rae Yeon tertawa.
“Omo, kau ini! Baik-baiklah dengan Tae Hyung-ah. Jangan egois dan jangan terlalu banyak menuntut! Kalian berdua masih sangat muda. Ibu sangat tahu seperti apa dirimu, aku khawatir Tae Hyung-ah bisa stress karenamu.” Ujar ibu panjang lebar.
“Kenapa bukan dia saja yang mengalah? Lagi pula yang stress di sini justru aku.”
“Lihat, dari perkataanmu itu menandakan ada sesuatu hal tidak baik yang terjadi di antara kalian. Sudah ibu bilang, jadilah gadis penyayang yang penurut. Ibu tahu kalian berdua itu sangat keras kepala dan ceroboh.” Ibu tidak bisa berhenti bicara sampai gadis itu menutup teleponnya dengan beberapa kalimat sederhana.
“Kami baik-baik saja. Aku bisa mengatasinya. Terima kasih sudah mengingatkan kami. Aku menyayangimu bu.”
Rae Yeon menghempaskan punggungnya di punggung sofa. Sepertinya benar apa kata ibunya. Selama ini dia hanya bisa mengeluh akan sikap Tae Hyung, tapi tidak pernah bisa memahaminya. Mau bagaimana lagi, kalian tidak tahu bagaimana ini semua bisa terjadi. Dia akan mencoba menjadi istri yang baik dengan tanda kutip. Menyebut kata ‘istri’saja sudah membuatnya merinding.
“Lebih baik aku memasak.” Gadis itu bangkit sambil menggelung rambutnya yang teruntai sepunggung.
            “Sudah selesai.” Rae Yeon memandang masakan buatannya dengan puas. Hari ini dia memasak banyak daging karena Tae Hyung pernah bilang kalau dia suka makan daging. Terdengar suara pintu berdebam dari pintu depan. Tae Hyung sudah pulang.
“Selamat datang!” Seru Rae Yeon ketika melihat pria itu sudah berada di ambang pintu. Tapi entah kenapa dia justru tertegun ketika laki-laki itu menatapnya dengan mata yang berusaha tetap terbuka dan tatapan kosong.
“Ah, maaf Rae Yeon-ah.” Tae Hyung cegukan. “Tadi temanku terus memintaku minum.” Pria itu hampir saja jatuh, untungnya Rae Yeon segera menahan dan memapahnya untuk duduk di sofa ruang tamu.
“Terima kasih.” Tae Hyung meminum segelas air pemberian Rae Yeon. Pria itu melepas dasinya yang sudah longgar, kancing kemeja bagian atasnya terbuka.
“Oppa.” Rae Yeon duduk di kursi sebelah sofa yang diduduki Tae Hyung. Dia hanya memandang pria yang saat ini bersamanya. Memegang nampan dengan gugup. “Aku minta maaf.”
“Hah?” Tae Hyung menoleh, matanya masih berkunang-kunang dan badannya lemas sekali. Hampir tidak bisa berdiri. “Harusnya aku yang minta maaf.” Katanya.
“Kenapa?” Tanya Rae Yeon.
“Tentu saja karena aku tidak memperlakukanmu dengan baik selama ini. Kau tahu, aku selalu menyukaimu.” Dia cegukan lagi. “Salah, aku selalu mencintaimu. Agak jijik mendengarnya. Tapi kenyataannya memang begitu. Kau tahu, aku ingin menikah denganmu bukan tanpa alasan. Saat pertama kali melihatmu di taman ketika memberi makan kucing jalanan, aku jadi sangat menganggumimu. Tapi aku tahu kau hanya gadis usia 18 tahun yang masih suka jalan-jalan dan bermain. Yah, kau juga sangat menyebalkan.”
Apa yang dia bilang barusan? Apa ini yang namanya kejujuran ketika mabuk?
“Ucapkanlah sesuatu!” Seru Tae Hyung yang masih dalam keadaan mabuk. Sedangkan Rae Yeon hanya bisa diam dan mendengarkan, gadis itu menatapnya.
“Kemarikan.” Tae Hyung mengambil nampan yang dibawa Rae Yeon dan melemparnya ke meja. Pria itu menarik gadis itu agar duduk di sampingnya.
“Aku.”  Tae Hyung menepuk dadanya sendiri. “Aku bisa gila karena tidak bisa menyentuhmu sampai kau lulus sekolah.” Pria itu kembali menepuk-nepuk dadanya.
“Setiap hari kau tidur bersamaku dan melakukan apapun yang kau suka di depanku. Gila sekali kalau mereka menyuruhku untuk hanya membiarkanmu dan tidak memperbolehkanku menyentuhmu. Kita sudah menikah kau tahu?”
Rae Yeon lagi-lagi tidak bicara apa-apa. Dia terlalu bingung dan gugup dengan semua yang dikatakan Tae Hyung barusan.
“Kau harus mengancingkan bajumu dengan benar.” Rae Yeon mengalihkan percakapan dengan mengancingkan kemeja pria itu. Tapi pria itu justru mencegahnya dengan tangannya yang menggenggam tangan gadis itu.
“Kenapa? Udaranya dingin. Kau harus tidur, agar bisa bekerja besok. Atau kau ingin makan dulu?” Rae Yeon terus mengalihkan pembicaraan dan menolak tatapan dari pria dihadapannya ini.
Pria itu mendekatkan wajahnya dan memiringkan kepalanya, sedikit menyentuh bibir gadis itu dengan bibirnya. Pria itu pada akhirnyatertidur di pundak gadis itu.
“Padahal aku sudah masak banyak makanan untukmu.” Gumam gadis itu pelan. Menepuk-nepuk punggung Tae Hyung.
&&&&

            Pagi hari masih seperti pagi biasanya, tidak ada yang sesuatu yang terjadi atau kecanggung di antara mereka. Rae Yeon berdiri di depan cermin untuk membenarkan tata rambut.
“Rae Yeon-ah, tolong ambilkan kemejaku.” Pinta Tae Hyung dari dalam kamar mandi.
“Baik!” Tanpa menoleh sebelumnya, gadis itu langsung keluar dari kamar untuk mengambil kemeja yang diminta pria itu.
“Ini, aku memilih yang berwarna biru.” Rae Yeon mengamati kemeja yang terlipat rapi, tapi ketika kembali dia sangat terkejut dengan mulut terbuka lebar.
“Apa-apa’an itu?! Cepat pakai bajumu!” Rae Yeon melempar setelan kemeja rapi itu tepat di wajah Tae Hyung.
“Kau ini kenapa?!” Pria itu terlihat kesal.
Bagaimana gadis itu tidak marah, laki-laki itu keluar dari kamar mandi hanya memakai handuk yang melilit pinggangnya.
“Kenapa kau menutupi wajahmu begitu? Kupikir keadaan sudah membaik sejak kemarin malam.” Tukas Tae Hyung.
“Kemarin malam?” Rae Yeon masih menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Tidak sanggup melihat pria itu berdiri dengan keadaan seperti itu.
“Siapa bilang orang yang mabuk akan melupakan semua yang dilakukan dan diucapkannya?” Ketika Tae Hyung mendekat pada Rae Yeon, gadis itu justru menendangnya dan keluar dari kamar begitu saja.
“Kenapa dia begitu? Aku hanya ingin mengambil sabuk.” Tae Hyung tidak mengerti.              
&&&&
          Jung Kook memperlakukannya dengan sangat baik. Dia sangat perhatian dan penyayang untuk orang yang punya tampang polos sepertinya. Jeon Jung Kook, benar-benar dibuat tergila-gila oleh Kim Rae Yeon. Seorang gadis remaja pada umumnya yang ceria dan aktif.  Dia sangat menarik.
“Rae Yeon-ah.” Gumam Jung Kook tanpa membuka matanya. Laki-laki itu tidur di pundak Rae Yeon ketika mereka sedang berada di bus.
“Hem?” Rae Yeon berdehem. Gadis itu juga sedang tidur dengan kepala bersandar di punggung kursi.
“Apakah kau menyukaiku?”
“Apa?” Gadis itu terkejut dengan pertanyaan dadakan laki-laki ini.
“Apa aku harus mengulang pertanyaanku lagi?” Jung Kook mengangkat wajahnya dan mengamati wajah Rae Yeon yang bersemu.
“Tidak perlu bilang, aku sudah tau jawabannya.” Jung Kook tersenyum puas dan kembali tidur di pundak Rae Yeon.
Bagi gadis itu, Jung Kook adalah laki-laki yang penuh kejutan. Contohnya seperti saat ini. Rae Yeon bahkan tidak mengerti bagaimana perasaannya saat ini. Dia bahkan bingung siapa orang yang disukainya. Saat ini dia merasa berdebar-debar bahkan tubuhnya serasa tidak bisa bergerak saat Jung Kook tidur di pundaknya. Tapi di satu sisi, dia memikirkan laki-laki yang selama ini selalu mengurus kebutuhan dan merawatnya setiap hari meskipun dia terkesan cuek dan tidak perduli.
“Bagaimana ini?” Batin Rae Yeon frustasi.

&&&&

                            “Aku pulang!” Gadis itu berseru hingga suaranya memenuhi rumah. Melepas
sepatunya dan langsung menuju dapur untuk mencari segelas air dingin.
“Omo!” Rae Yeon terkejut saat pria muda yang masih memakai pakaian kerja lengkap tertidur dengan kepala di atas meja makan. Di depannya ada segelas air dan beberapa kapsul di atas meja.
“Apa ini? Kemarin mabuk, tidak mungkin sekarang narkoba.” Rae Yeon meraih sebiji kapsul dan memperhatikan benda itu dengan seksama. Gadis itu mengangkat alisnya.
“Dia sakit atau apa?” Gadis itu mengusap kening Tae Hyung. Tidak demam tapi berkeringat dingin. Ternyata laki-laki ini bisa sakit juga.
Pria itu bergumam tidak jelas. Tae Hyung tidur di ruang makan dengan tangan yang memegangi perutnya. Keringat banyak membasahi pelipis. Punggungnya juga basah. Laki-laki itu mengerutkan matanya yang terpejam. Rae Yeon jadi prihatin dan menepuk pundak Tae Hyung untuk membangunkannya.
“Oppa, tidurlah di kamar, nanti punggungmu sakit.”
Tae Hyung belum merespon.
“Oppa.” Rae Yeon menepuk pundak Tae Hyung lagi. Pria itu akhirnya bangun, rambutnya agak berantakan.
“Rae Yeon-ah.” Tae Hyung menggigit bibir bawahnya dan tangannya meremas perutnya yang sakit. Dia terlihat kesakitan.
“Kau tidak apa-apa?” Tanya Rae Yeon gugup dan takut. Ekspresi Tae Hyung terlihat mengerikan.
“Aku masuk angin.” Kata Tae Hyung pelan.

&&&&

                      “Itu lucu sekali. Bagaimana bisa sampai ikut diguyur?” Gadis itu tertawa sambil memberikan segelas teh hangat pada Tae Hyung yang tidur di kasur. Pria itu sudah mengganti pakaiannya.
Tae Hyung melirik Rae Yeon dengan kesal. Gadis ini malah menertawai ketika dia bercerita.
“Temanku yang berulang tahun ikut mengguyurku dengan air karena hanya aku yang belum basah.” Tae Hyung meminum teh hangat pemberian Rae Yeon.
“Begitu?” Rae Yeon mangut-mangut. “Duduk!” Pinta gadis itu menaiki kasur. Tae Hyung menurut saja.
“Berbalik.” Pinta Rae Yeon lagi. Meski bingung, Tae Hyung langsung duduk membelakangi Rae Yeon. Tiba-tiba anak perempuan itu mengangkat kaos yang dipakainya, Tae Hyung terlonjak dan berbalik.
“Apa-apa’an ini?” Tae Hyung mulai gusar.
“Tidak mau kupijit?” Rae Yeon mengangkat botol minyak di tangannya. Pria itu melirik botol yang dibawa Rae Yeon dengan tidak yakin.
“Memangnya bisa?”
“Kau mengejekku?” Gadis itu mengangkat sudut bibirnya sambil memicingkan matanya. Dia kembali meminta Tae Hyung untuk tetap berbalik.
               “Saat aku masuk angin, ibu selalu memijitku. Kau ini tidak percaya sekali padaku. Begini-begini aku pintar melakukan apapun.” Tutur Rae Yeon bangga.
“Iya, aku percaya.” Tae Hyung hanya mengangguk. Rae Yeon pintar memijit juga ternyata.
Gadis itu menatap punggung tegap Tae Hyung yang memerah karena dipijitnya. Dia  menghela nafas.
“Kenapa?”
“Tidak apa-apa.” Rae Yeon menggeleng. “Oleskan di perutmu.” Dia menyodorkan botol minyak itu.
“Baiklah.” Tae Hyung mengambil botol minyak dan mengoles beberapa tetes minyak di perutnya.
“Kenapa berhenti?” Tanya Tae Hyung lagi karena Rae Yeon berhenti memijitnya.
“Tidak, aku tidak berhenti.” Tukas gadis itu dengan agak terbata.
Tae Hyung berbalik menghadap Rae Yeon yang terlihat gugup. Mata gadis itu hanya menatap tangannya yang terlihat licin karena minyak.
“Lebih baik sambil tidur saja.” Rae Yeon tertawa tidak jelas untuk menutupi rasa malu. Pria itu kembali menurut dan berbaring. Suasana jadi sedikit canggung saat ini. Biasanya akan terjadi perdebatan sengit kalau mereka bersama. Entah kenapa atmosfir dalam ruangan ini jadi meningkat.
“Tanganmu dingin.” Ujar Tae Hyung yang menikmati dipijit oleh gadis itu. Pria muda itu tidur.
“Bohong, aku kan pakai minyak. Harusnya panas.” Elak Rae Yeon.
“Tidak, memang dingin.” Katanya pelan. Telapak tangan Rae Yeon memang dingin ketika menyentuh perutnya, padahal tangannya menggunakan minyak.
Rae Yeon berhenti memijit. Bukan karena tanpa alasan. “Aku tidak bisa memijit kalau kau begitu.”
“Begini sebentar tidak apa-apa.” Tae Hyung mengalihkan wajahnya ketempat lain, asal itu bukan pada Rae Yeon. Pria itu tersenyum malu dengan tangannya yang menggenggam telapak tangan Rae Yeon yang kembali menghangat.

&&&&

             Tae Hyung akhirnya tertidur sehabis dipijat. Rae Yeo beranjak dari ranjang dan duduk dipinggiran kasur. Pundak gadis itu naik turun, berusaha agar suaranya tidak keluar dan membangunkan laki-laki yang tidur. 
“Aku buruk sekali.” Gadis itu menangis dan keluar dari kamar.                                                 
Dia tidak bisa selamanya bersama dengan laki-laki lain sementara ada Tae Hyung bersamanya. Menyakiti perasaan dua laki-laki yang disayanginya membuatnya tertekan. Harusnya dia tidak perlu menerima perasaan Jung Kook.
“Rae Yeon-sshi. Kau tidak apa-apa?” Salah seorang teman perempuan Rae Yeon menepuk bahunya. Gadis itu mengerjapkan mata dan tersenyum pada teman perempuanya itu.
“Maaf, tadi ada nyamuk lewat.” Rae Yeon kembali membawa beberapa kardus ke dalam ruangan karya seni. Sorenya gadis itu pergi kembali ke sekolah untuk mengikuti kegiatan ekstra. Pria itu akan tertidur untuk beberapa jam kedepan, dan dia akan baik-baik saja.
          “Rae Yeon-ah!” Seseorang memanggilnya lagi dengan suara yang lebih bersemangat. Gadis itu mengibaskan celana trainingnya yang terkena debu. Seorang laki-laki manis masuk dengan wajah sumringah.
“Kau di sini?” Rae Yeon bingung melihat Jung Kook juga sedang berada di sekolah. Setahunya, ektra basket bukan hari ini.
“Aku?” Jung Kook mencari beberapa alasan. “Ada yang sedang kulakukan di sini.”
“Ah, begitu.” Rae Yeon mengangguk.
Jung Kook membantunya membawa beberapa kardus ke dalam ruang karya seni. Dengan cepat semua kardus sudah masuk.
“Terima kasih Kookie-ah, sudah ikut membantu.” Senior perempuan mengacak rambut Jung Kook dengan gemas.
“Sama-sama sunbae.” Kata Jung Kook sedikit membungkuk.
Setelah penutupan kegiatan ektra seni yang dihadiri Rae Yeon dan teman-temannya yang lain, gadis itu pulang bersama Jung Kook. Laki-laki itu mengajaknya berkeliling sekolah sebentar. Padahal mereka berdua sudah hapal betul letak-letak sekolah yang besar itu.
             “Jung Kook-ah.” Panggil Rae Yeon kepada Jung Kook yang sedang asyik melihat sekeliling. Laki-laki itu menoleh dan berdehem. Karena tinggi mereka, Jung Kook harus sedikit menunduk.
“Jung Kook-ah.” Gadis itu menelan ludahnya. “Aku sudah mencoba untuk menjalani ini. Tapi sepertinya aku tidak bisa.”
Jung Kook yang selalu tersenyum memperlihatkan raut wajah yang berkebalikan. “Kenapa?”
“Kau adalah laki-laki yang pintar, ramah, keren, dan dapat melakukan banyak hal dengan baik.” Rae Yeon mengangkat wajahnya yang tertunduk.
“Kau terlalu baik. Dan aku...” Perkataan Rae Yeon terputus karena Jung Kook tiba-tiba memeluknya.
“Jangan! Aku tidak mau.” Kata Jung Kook pelan. Menenggelamkan kepalanya di bahu kecil Rae Yeon.
“Aku sangat menyangimu. Aku menyukaimu. Tapi itu hanya sebagai teman. Kalau terus begini, aku sama saja membohongimu. Dan aku tidak mau melukai perasaanmu lebih dari ini.”
Jung Kook melepas pelukannya dan menatap gadis itu. “Maafkan aku. Aku harusnya tidak egois.” Laki-laki itu mengusap matanya yang berair dengan lengan baju panjangnya. Dia tertawa untuk menutupinya. “Aku harusnya tidak begini. Maafkan aku.”  Dia hanya minta maaf, berusaha menutupi wajahnya yang mungkin akan terlihat payah di hadapan Rae Yeon. Dia laki-laki, tidak boleh menangis.
“Harusnya aku yang minta maaf.” Rae Yeon ikut menangis.
“Kenapa ikut menangis?” Jung Kook menunduk dan mengusap mata Rae Yeon. Dia tertawa lagi. 
“Terima kasih.” Kata gadis itu pelan. “Terima kasih karena sudah menyukaiku.”
“Terima kasih juga, karena sudah menjadi gadis yang kusukai.” Kata Jung Kook.
               “Hey kalian!” Suara teriakan seseorang membuat mereka berdua menoleh.
“Aigoo, jantungku!” Pria itu menepuk dadanya yang kekurangan oksigen karena kelelahan berlari.
“Oppa!” Rae Yeon terkejut dua kali lipat saat Tae Hyung kemari dengan tergopoh-gopoh.
“Rae Yeon-ah, kau melupakan ini.” Tae Hyung menyerahkan tas kecil berwarna biru yang di selempangkan di pundaknya. Tas kecil biru milik Rae Yeon.
“Kenapa disini? Harunya kau tidur.” Kata Rae Yeon tidak habis pikir.
Tae Hyung tidak menjawab dan malah mengamati kedua anak muda itu.
“Kalian kenapa? Kenapa kalian menangis? Kalian habis nonton film?”
“Tidak.” Jung Kook menggeleng dengan senyum sopan.
“Kalau begitu, permisi. Aku akan pulang lebih dulu.” Jung Kook membungkuk dan pergi setelah melambai pada keduanya.
“Selamat jalan, hati-hati!” Seru Tae Hyung. Jung Kook mulai menghilang dari balik tembok gedung sekolah.
“Dia kenapa?” Tanya Tae Hyung yang masih belum mengerti.
“Tidak apa-apa. Kalau ku jelaskan juga tidak akan mengerti.” Kata Rae Yeon. “Ayo pulang!” Gadis itu berjalan lebih dulu.
“Pulang? Aku baru saja sampai.” Tae Hyung menarik tangan Rae Yeon.
“Kegiatan sudah selesai. Kau masih mau di sini?” Rae Yeon tertawa melihat ekpresi Tae Hyung yang konyol.
“Aku tidak mau pulang begitu saja. Aku sudah jauh-jauh dari rumah.” Tae Hyung ngotot.
“Tapi kau sakit. Nanti masuk angin lagi.” Rae Yeon geregetan.
“Sini!” Tae Hyung menyambar tangan Rae Yeon dan menggandengnya. Tangan pria itu terasa berminyak. Kalian tahu kenapa.
Tae Hyung dan Rae Yeon pulang bersama, mereka lebih terlihat seperti kakak dan adik daripada pasangan muda yang baru saja menikah.
“Kau tahu.” Tae Hyung mendahului pembicaraan.
“Apa?”
“Kita ini sama-sama tidak peka. Sama-sama menyebalkan. Jadi tolong terima aku apa adanya.” Tae Hyung mengucapkan itu dengan mengalihkan wajahnya ke tempat lain. Bukan pada Rae Yeon yang diajaknya bicara. Dia malu mengucapkan itu. Padahal biasanya dia blak-blakan.
“Iya.” Rae Yeon hanya menjawab dengan sangat singkat.
Tae Hyung menoleh pada tangannya yang digenggam lebih erat oleh Rae Yeon.
“Sepertinya aku mulai menyukaimu.” Rae Yeon menampilkan barisan giginya.
“Kenapa kau baru bilang itu sekarang?” Tanya Tae Hyung dengan wajah memerah karena malu.

~ FIN ~

Thank for reading Army...

0 komentar:

Posting Komentar