Married? 18 Years?
Maried? 18 Years?
Yoon Sa Shi
Kim Tae Hyung (BTS), Kim Rae
Yeon (Yourself), Jeon Jung Kook (BTS)
Married, life, school, funny, romance
One Shoot
~ Happy Reading~
“Aku berangkat!” Seru Kim Rae Yeon
dengan semangatnya. Gadis cantik dengan rambut hitam lurus yang diikat ekor
kuda itu segera menyambar tasnya setelah menyuapkan beberapa sendok sereal ke
mulutnya.
“Hati-hati di
jalan! Jangan lupa telepon ketika pulang sekolah agar aku bisa menjemputmu!”
Seorang pria dengan kaos putih berlengan panjang yang mencetak bentuk bahunya
muncul dari arah pintu. Mengingatkan Rae Yeon.
“Aku tidak mau
dijemput. Aku bisa pulang sendiri.” Gadis itu langsung menolak. Tangannya sibuk
memasukkan kaos kaki di kakinya yang ramping.
“Kenapa kau
selalu menolak untuk menjemputmu? Ibumu bisa marah lagi padaku!” Tae Hyung
tidak mengerti. Dia mencoba menjalankan tugasnya dengan baik, tapi gadis bandel
ini justru menolaknya. Siapa juga yang nanti disalahkan kalau terjadi sesuatu
dengan anak itu? Tentu saja dia lagi.
“Aku sudah
biasa pulang dengan Jung Kook. Kau kan tau sendiri?” Gadis itu berdiri ketika
selesai memakai sepatunya dan bersiap keluar dari rumah. Rumah mereka berdua.
“Yah,
pulang-pulanglah sana sendiri.” Tae Hyung tidak peduli. Pokoknya dia tidak mau
tahu. Mau gadis itu pulang dengan jalan kaki, naik bus, atau pakai apapun, dia
tidak peduli. Bersikap manis justru hanya membuatnya risih sendiri. Percuma,
gadis itu selalu acuh padanya.
Rae Yeon
akhirnya berangkat ke sekolah setelah membungkuk 180 derajat kepada Tae Hyung.
Tae Hyung menghela nafas dan pergi ke belakang menyiapkan perlengkapan
kerjanya.
&&&&
“Rae
Yeon-sshi!” Suara bisikan berkali-kali dari Jung Kook membuatnya terbangun dari
tidur singkat yang baru 1-2 menit dia lakukan.
“Kau tidur
lagi? Sonsaeng bisa membanting buku di mejamu lagi seperti kemarin.” Jung Kook
mengingatkan. Sudah kewajibannya mengingatkan gadis itu karena mejanya
bersebelahan dengan meja Kim Rae Yeon. Gadis itu mengusap wajahnya dan
mengangkat kepalanya.
“Gomawo.”
Sesaat kemudian gadis itu berusaha sebisa mungkin berkonsentrasi dengan
pelajaran membosankan yang diterangkan guru Nim di depan.
“Rae Yeon-ah.” Panggil Jung Kook
lagi. Mereka seperti biasa selalu pulang sekolah bersama. Gadis itu menoleh
dengan alis terangkat.
Jung Kook
mengusap tengkuk lehernya, merasa gugup mengatakan keinginannya. “Akhir pekan
besok, aku sedang ada waktu luang. Kursus dance dan menyanyiku libur.” Kata
laki-laki itu. Kulit wajahnya yang putih terlihat memerah. Rae Yeon tersenyum
geli lalu menabrak lengan Jung Kook dengan lengannya karena laki-laki itu tidak
segera bilang.
“Kau ini tidak perlu
malu-malu.”
“Anu.” Jung
Kook menatap wajah Rae Yeon dengan tatapan kaku namun gugup. Wajahnya yang
terlihat polos makin terlihat polos saja. “Kalau ada waktu, tolong
jalan-jalanlah denganku!”
Rae Yeon
terkejut. Bukan 1 atau 2 kali Jung Kook mengajaknya jalan-jalan. Tapi kali ini
wajah laki-laki itu terlihat serius tidak seperti biasa. Gadis itu tertawa.
“Kita sudah sering pergi bersama-sama. Tidak perlu seformal itu meminta
kepadaku. Untukmu, aku selalu ada waktu!” Ujar Rae Yeon genit dengan maksut bercanda.
Gadis itu tersenyum lebar, menyenangkan melihat Jung Kook tersipu-sipu seperti
itu. Sahabatnya yang satu ini memang sangat menawan di sekolah maupun di luar
sekolah. Punya teman yang populer adalah sebuah kebanggaan tersendiri.
“Jalan-jalan?” Tae Hyung balik
bertanya. Gadis itu menceritakan kepada pria yang berusia lebih tua 5 tahun
darinya itu tentang ajakan Jung Kook jalan-jalan sesampainya dia di rumah.
Pria muda itu
diam sejenak lalu kembali menghadap laptopnya. “Jalan-jalan sana.”
Rae Yeon menekuk
wajahnya, bagaimana bisa laki-laki ini tidak perduli apapun kegiatan yang
dilakukannya. Meskipun tinggal berdua bersama dengan laki-laki ini, tapi
rasanya seperti tinggal sendirian. Dia seperti tembus pandang karena Tae Hyung
selalu tidak perduli padanya.
“Ya sudah, jadi
jangan cari aku!” Tukas Rae Yeon. Beberapa saat kemudian dia ingat sesuatu.
“Mau makan apa?”
“Pizza dan
ayam.” Jawab pria itu singkat.
“Apa? Kemarin
kau minta Pizza dan ayam. Tidak mungkin makan itu lagi. Mintalah sesuatu yang
bisa kumasak. Bahan masak di lemari es lebih baik kuberikan ke tetangga karena
tidak pernah dipakai.” Gadis itu berceloteh panjang lebar. Tae Hyung langsung
menjepit bibir gadis itu dengan jarinya.
“Kalau begitu
masaklah nasi. Kau tidak bisa masak tapi ngotot masak.” Tae Hyung melepas
tangannya dan pergi keluar dari kamar setelah mengucapkan itu.
“Aku bisa
masak! Kau saja yang tidak pernah minta aku memasak!” Teriak Rae Yeon dari
dalam kamar.
“Bagaimana? Masakkanku sudah seperti
masakan koki bintang lima kan?” Rae Yeon begitu pecaya diri dengan semua
masakan buatannya yang tertata rapi di atas meja.
Tae Hyung belum
mengatakan apapun setelah mencicipi sayur dan ikan yang terlihat menggiurkan di
meja. “Lumayan. Aku akui kau bisa masak.” Tae Hyung mengangguk-angguk kan
kepalanya. Tiba-tiba kedua tangan Rae Yeon sudah terjulur dan menengadah di
atas mangkuk nasi Tae Hyung. “Ada apa? Kau minta apa?”
Rae Yeon
menggingit bibir bawahnya dengan senyum malu-malu. Itu berarti dia minta
sesuatu. Tae Hyung berdecak.
“Tidak mau.
Uangku terlalu berharga untuk kau buang-buang.” Tae Hyung menyingkirkan tangan
gadis itu dengan sumpit.
“Tapi aku akan
pergi jalan-jalan. Aku tidak punya uang.” Rengek Rae Yeon. Tae Hyung mencubit
hidung Rae Hyung hingga hidung gadis itu terlihat merah.
“Kalau tidak ya
tidak! Dasar boros!” Laki-laki itu menjulurkan lidahnya dan kembali makan. Rae
Yeon tidak bisa terima perlakuan itu, dia merebut mangkuk nasi milik Tae Hyung.
“Kau tidak
boleh makan! Masakanku juga terlalu berharga untuk kau makan!”
Tae Hyung
melotot dan berusaha kembali merebut mangkuk nasinya. Rae Yeon tidak mau kalah.
&&&&
“Siap!” Rae Yeon merasa puas dengan
penampilannya pagi ini. Di semakin telihat childish dengan bandana dan dress sepaha
dengan bagaian bawah mengembang. Tae
Hyung sudah berangkat kerja pagi-pagi sekali.
“Sampai saat
itu dia belum memberiku uang!” Gerutu Rae Yeon di depan cermin. Dia mencari
lips balmnya dan menemukan sesuatu yang tertindih di bawah kotak rias. Uang,
uang yang cukup banyak.
“Aku menarik
perkataanku.” Rae Yeon memukul pelan mulutnya dan tersenyum puas melihat uang
pemberian diam-diam dari Tae Hyung.
“Jung Kook-ah!” Rae Yeon melambaikan
tangannya seraya setelah melihat laki-laki itu sudah berdiri di bawah tiang
lampu jalan. Jung Kook tersenyum ketika Rae Yeon berjalan mendekat ke arahnya.
“Woah, Kim Rae
Yeon, kau terlihat luar biasa!” Jung Kook memuji penampilannya.
“Tentu saja,
aku membutuhkan waktu yang lama untuk ini.” Tutur Rae Yeon bangga. Dia juga
memperhatikan penampilan Jung Kook. “Kau juga terlihat keren!”
“Benarkah?”
Jung Kook mengamati penampilannya sendiri. Laki-laki ini selalu terlihat keren
memakai pakaian apapun. Meskipun memakai kostum beruang ketika festival
sekolah, dia malah terlihat sangat lucu.
“Kita mau pergi
ke mana?” Tanya Rae Yeon setelah itu.
“Hah?” Rae Yeon tidak habis pikir
dengan tempat pilihan Jung Kook. Tapi mau bagaimana lagi, laki-laki itu
terlihat menikmati tempat pilihannya sendiri.
“Lihat, singa
itu tidurnya sepertimu! Tidak bangun-bangun!” Tunjuk Jung Kook kepada singa jantan
bersurai menganggumkan dengan badan sangat besar yang sedang tidur di
rerumputan. Dia tertawa hingga perutnya sakit setelah puas mengejek Rae Yeon.
“Apa maksutmu?
Mau kuhajar?!” Rae Yeon menimpuk Jung Kook dengan tas kecil yang dipakainya.
“Kebun binatang? Dasar anak-anak!” Gadis itu balas mengejek.
“Semua orang
suka kebun binatang, siapa yang tidak suka kebun binatang?” Jung Kook mencoba
membela diri.
Rae Yeon
melihat singa yang berada di dalam jeruji besi itu dengan senyum simpul. Dia
ingat seseorang.
“Dia mirip
sekali dengan singa itu.” Gumamnya. Jung Kook menoleh karena mendengar gumaman
Rae Yeon.
“Siapa?” Tanya
Jung Kook penasaran.
“Tae
Hyung-Oppa.” Jawab gadis itu.
“Orang yang
tinggal bersamamu itukan? Kenapa?” Raut wajah Jung Kook berubah, terlihat tidak
suka menanyakan itu tapi tetap menanyakannya.
“Singa itu
meskipun terlihat tidak peduli, tidur terus dan hanya makan. Tapi singa jantan
itu selalu berusaha yang terbaik untuk melindungi anggota kelompoknya. Ya,
singa itu sama dengan dia.” Rae Yeon mengangguk mengiyakan pendapatnya sendiri.
“Aku juga bisa
seperti itu.” Tukas Jung Kook pelan.
“Pasti akan
jadi singa kecil lucu yang bekerja keras melindungi teman-temannya.” Timpal Rae
Yeon tersenyum lebar, sangat manis dengan senyum tiga jarinya.
“Tidak. Aku
bisa melindungimu lebih baik dari pada dia.” Rae Yeon terkejut. Sejak kapan
topik ini jadi membahas tentang dirinya?
“Ya, kau pasti
bisa.” Rae Yeon asal mengangguk. Gadis itu masih belum mengerti juga dengan
tatapan tidak habis pikir dari Jung Kook.
“Rae
Yeon-sshi.” Laki-laki itu tiba-tiba menarik pergelangan tangannya dan berdiri
menghadapnya. Punggung gadis itu menekan pembatas kayu yang membatasi area
pengunjung dengan kandang singa karena laki-laki itu yang semakin mendekat
kepadanya.
“Ada apa ini?”
Gadis itu masih saja tertawa pelan meskipun tawanya terdengar kikuk dan gugup
dengan tingkah Jung Kook. Wajah laki-laki itu semakin mendekat hingga dia bisa
merasakan nafas laki-laki itu di pipinya. Mata laki-laki itu terpejam,
sedangkan matanya melebar. Bibirnya menghangat meskipun hanya dalam waktu
beberapa detik.
“Aku
menyukaimu. Aku akan melindungimu. Meskipun bagimu aku hanya seorang laki-laki
yang terlihat kekanak-kanakan. Tapi aku akan membuktikan kepadamu kalau aku
bisa lebih baik dari pria itu.”
Rae Yeon tidak
dapat mengatakan apapun dan hanya menutupi mulutnya dengan telapak tangannya.
Apa itu tadi? Apa itu barusan sebuah ungkapan perasaan?
“Aku,” Otaknya
serasa tidak bisa berfungsi. Ini terlalu mendadak dan mengejutkan.
“Tidak perlu
menjawabnya sekarang.” Jung Kook tersenyum lembut padanya dan menggenggam erat
tangannya.
&&&&
“Dia bilang begitu. Aku harus
bagaimana?” Rae Yeon menceritakan kejadian tadi di kebun binatang kepada Tae
Hyung yang berbaring di kasur sambil bermain game di I-pad.
“Bagaimana
apanya?” Tae Hyung balik bertanya tanpa menoleh, serius dengan game Mario-nya.
Rae Yeon memutar bola mata. ‘orang ini benar-benar.’.
“Kau tidak
apa-apa?” Tanya gadis itu. Jangan bilang kalau Tae Hyung akan mengatakan
‘pacaran saja sana.’
“Aku? Kenapa
tanya aku? Kau ini tadi bilang apa?” Tae Hyung menoleh.
Rae Yeon
mendelik. Laki-laki ini tidak mendengarkan ceritanya sama sekali? Pria ini
hampir membuatnya gila.
“Menurutmu
bagaimana? Ceritaku tadi. Aku harus menerimanya atau menolaknya?” Tanya Rae
Yeon dengan segala penekanan. Sebenarnya tanpa perlu tanya pada Tae Hyung, dia
tentu pasti sudah mengerti kalau menerima Jung Kook adalah keputusan yang tidak
benar. Dia hanya ingin tahu keperdulian pria itu.
“Menerima atau
menolak?” Ada jeda sebentar karena laki-laki itu sedang berpikir. “Kalau itu
hal bagus, maka terimalah.”
Bagaikan ditabrak
kereta api, bagaimana mungkin pria ini menyetujui begitu saja? Lihat ekspresi
wajahnya, seperti tidak memiliki perasaan apapun sehabis mengucapkan itu. Ini
benar-benar keterlaluan.
“jadi, harus
kuterima?” Tanya Rae Yeon lagi dengan pelan. Tae Hyung mengangguk sambil terus
memainkan gamenya. Gadis itu ingin menangis, tapi untuk apa dia menangisi
pendapat laki-laki tidak peka ini? Kini dia hanya mengerti satu hal. Ternyata
bagi pria ini, status mereka yang selalu disembunyikan dari orang-orang bukan hal
penting baginya.
“Aku tidak mau
tidur sekamar denganmu lagi! Jangan minta aku membuat makanan lagi! Jangan
minta aku merapikan dasimu! Jangan minta aku melakukan apapun untukmu!” Gadis
itu berteriak-teriak setelah melompat dari kasur.
“Kim Rae Yeon! Rae
Yeon-ah!” Gadis itu pergi meningalkan kamar begitu saja setelah
berteriak-teriak tidak jelas. Menyisakan kebingungan bagi Tae Hyung.
“Sebenarnya dia
tadi cerita apa?”
&&&&
“Katanya tidak mau memasak?” Timpal
Tae Hyung diwaktu yang tidak tempat. Pria ini tidak tahu berapa banyak tisu
yang Rae Yeon habiskan kemarin malam hanya untuk menangis. Mata Rae Yeon
terlihat bengkak paginya ketika Tae Hyung baru saja memasuki dapur dan melihat
gadis itu menyiapkan sarapan.
“Duduk saja dan
makanlah.” Kata Rae Yeon dengan suara serak khas orang sehabis menangis.
Tae Hyung
melihat Rae Yeon tidak ceria dan menyebalkan seperti biasa, pria itu berdiri
dari duduk dan berjalan mendekati gadis itu.
“Eits, mau
apa?” Rae Yeon segera berbalik dan mundur ketika tangan pria itu hampir
menyentuh pundaknya.
“Kau kemarin
malam menangiskan? Iyakan?” Tanya Tae Hyung sambil menunjuk matanya sendiri
karena melihat mata Rae Yeon yang bengkak.
“Untuk apa aku
menangis? Air mataku terlalu mahal dibuang-buang untuk hal yang tidak berguna.”
Rae Yeon masih saja mengelak kebenaran. Tae Hyung menatap wajah Rae Yeon yang
kembali memasak dengan tatapan bersalah.
“Aku minta
maaf.”
“Apa?” Ini
pertama kalinya Rae Yeon mendengar kalimat minta maaf dari pria itu selama
mereka tinggal bersama untuk 8 bulan ini.
“Aku minta
maaf. Ku pikir aku melakukan kesalahan.” Kata Tae Hyung lagi.
“Iya, kau
melakukan kesalahan yang sangat besar.” Rae Yeon melepas celemeknya dan pergi
begitu saja setelah mengambil tasnya yang berada di salah satu kursi makan.
“Selalu saja
begitu.” Desah Tae Hyung menggaruk keningnya sendiri.
&&&&
“Jung Kook-ah, ada apa?” Tanya Rae
Yeon ketika melihat Jung Kook sudah berdiri di sebelah mejanya saat beberapa
kerumunan anak perempuan seusianya pergi menjauhi meja Rae Yeon. Gadis itu sehabis
mengobrol dengan teman-teman sesama perempuannya.
Laki-laki itu
menghela nafas panjang ketika Rae Yeon menanyakan pertanyaan itu. Gadis ini
terlalu tidak peka atau apa?
Jung Kook
menarik tangan Rae Yeon keluar dari kelas, membawanya ke suatu tempat yang
tidak terlalu banyak siswa melintas.
“Jung Kook-ah.”
Rae Yeon bingung ketika Jung Kook hanya diam sambil menundukkan kepalanya
dengan kedua tangan tersaku. Laki-laki ini marah? Kenapa semua laki-laki yang
ditemuinya jadi gila seperti ini?
“Rae Yeon-ah.”
Jung Kook memandang wajah Rae Yeon sekilas.
Rae Yeon diam.
Dia ingat sekali apa yang Jung Kook ucapkan ketika di kebun binatang kemarin.
“Kalau soal itu aku...” Diam sebentar dengan tawa kaku. “Aku tidak tahu harus
bilang apa. Aku antara bingung harus memilih iya atau tidak.” Katanya dengan
pelan. Matanya menunduk mengamati sepatu kets-nya sendiri.
Laki-laki itu
mengambil pergelangan tangan kanannya dan menggenggamnya. “Bersamalah
denganku.” Kata Jung Kook menatap mata Rae Yeon. Gadis itu tidak dapat berhenti
menatap mata Jung Kook yang sekarang terlihat serius. Dia marah pada Tae Hyung,
tapi dia juga ingin bahagia dengan orang yang betul-betul menyukainya. Tapi
kalau ini...
“Kita jalani
secara perlahan.” Kata laki-laki itu lagi. Berusaha meyakinkan gadis yang
begitu disukainya selama ini.
“Aku akan mencoba.”
Rae Yeon mengangguk ragu.
Jung Kook
tersenyum tidak percaya. “Aku bisa gila karenamu.” Laki-laki itu langsung
memeluk Rae Yeon gemas seperti seorang anak kecil yang memeluk bonek teddy
besar.
“Rae Yeon-ah, setelah ini kau ingin
pergi kemana?” Tanya Jung Kook ketika mereka pulang sekolah. Rae Yeon sedikit
mendongakkan kepalanya ke atas, berpikir.
“Maksutnya?”
“Tempat yang
ingin kau kunjungi. Kau ini tidak berubah sama sekali.” Jung Kook memperjelas
sambil tertawa renyah karena ke tidak peka-an Rae Yeon.
“Aku ingin
makan kembang gula kapas, pop corn caramel, dan croisant di taman kota.” Rae
Yeon menyebutkan satu-persatu makanan yang disukainya dan menyebutkan sebuah
tempat yang ingin didatanginya.
“Kau ini suka
sekali makan, kau bahkan menyebutkan lebih banyak nama makanan dari pada nama
tempat yang ingin kau kunjungi.” Jung Kook mengacak kepala Rae Yeon dengan
senyum mengembang. Lihat, sekarang siapa yang anak kecil di sini?
&&&&
“Bagaimana?” Tanya Jung Kook kepada
Rae Yeon yang sibuk makan kembang gula kapasnya.
“Kembang gula
kapasnya enak, rasanya manis.” Jung Kook tertawa mendengar jawaban gadis itu.
Di mana-mana kembang gula rasanya manis.
“Wae? Kau
bertanya, aku menjawabnya.” Rae Yeon mengangkat pundaknya. Laki-laki itu
tertawa lagi. Dia banyak tertawa jika bersama gadis ini.
Tanpa gadis itu
sadari, seseorang memperhatikannya dari kejauhan. Diantara orang-orang yang
berlalu lalang sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
“Tae
Hyung-sshi, apa yang kau lakukan? Jadi makan siang tidak?” Seorang pria memakai
kemeja berwarna ungu menepuk pundaknya. Pria yang ditepuk pundaknya itu menoleh
dan sedikit berjengit.
“Iya. Aku hanya
melihat sesuatu yang menarik.” Tae Hyung mendorong punggung teman sekantornya
lalu pergi dari tempat itu tanpa menoleh lagi pada kedua orang tadi.
&&&&
“Aku pulang!” Seru Rae Yeon ketika
sampai di rumah. Gadis itu berharap Tae Hyung belum pulang karena dia pulang
terlambat sekali hari ini. Dia melepas sepatunya lalu pergi ke kamar untuk
ganti baju. Tetapi dia sangat terkejut ketika Tae Hyung sudah berada di kamar.
Laki-laki itu duduk bersila dan mengetik sesuatu di laptopnya. Rae Yeon
pura-pura tidak tahu dan memasuki kamar untuk mencari baju rumah.
“Kemana saja?”
Tanya Tae Hyung tanpa menoleh. Pria itu masih serius dengan pekerjaannya. Baru
kali ini dia terlihat serius, padahal biasanya selalu menyebalkan.
“Kemana?
Sehabis pulang sekolah aku pergi jalan-jalan.” Jawab Rae Yeon seadanya. Gadis
itu membuka lemari lalu mengambil kaos dan celana pendek.
“Kenapa
jalan-jalan lama sekali?” Tanya pria itu lagi. Nada suaranya datar.
“Kenapa?” Rae
Yeon balik bertanya dengan tangan tertekuk di pinggang. “Kenapa tiba-tiba kau
jadi peduli apa kegiatanku? Memangnya apa pedulimu? ”
“Apa?” Tae
Hyung menoleh. Ekspresi pria itu antara tidak habis pikir, bingung dan heran
dengan sikap gadis ini. “Tentu saja aku peduli.”
Tae Hyung
bangkit dari duduknya dan turun dari kasur. Berdiri berhadapan dengan Rae Yeon
lalu mencengkram lengan Rae Yeon.
“Kau mau apa?
Kau yang mengijinkannyakan?” Rae Yeon mengangkat wajahnya.
“Mengijinkan apa?”
“Kenapa kau
bertanya? Kau sendiri yang memintaku menikah denganmu. Tapi kau justru
mengijinkan hal itu. Kau pikir aku akan terus mengalah padamu? Kau seharusnya
perlakukan aku dengan baik.” Pundak gadis itu naik turun karena mengucapkan
rentetan kalimat tadi hampir tanpa bernafas. Rae Yeon pergi dari kamar begitu
saja. Meninggalkan Tae Hyung yang masih berdiri ditempatnya tanpa mengucapkan
sepatah katapun.
&&&&
“Rae Yeon-ah, kau tidak apa-apa?”
Rae Yeon terkejut ketika Jung Kook memanggil dan menepuk bahunya. Gadis itu
menoleh.
“Tidak apa-apa.
Kenapa kau tidak makan?” Terbalik, harusnya Jung Kook yang menanyakan itu.
Gadis itu makan sedikit-sedikit lalu mengaduk-aduk nasi yang masih tersisa
banyak.
“Makanlah yang
banyak. Kalau kau kurus, aku tidak bisa mencubit pipimu lagi.” Kata laki-laki
itu sambil mencubit pipi Rae Yeon. Gadis itu mengusap pipinya lalu mengangguk
mengerti.
Rae Yeon
berusaha makan, tapi pikirannya selalu kembali kepada apa yang terjadi tadi
pagi sebelum berangkat sekolah. Tae Hyung tidak menyapanya, tidak bertanya atau
mengatakan apapun padanya. Pria itu tidak cerewet seperti biasa. Juga tidak
mengkritik sarapan pagi buatannya. Ketika berpapasan, pria itu hanya melihatnya
sebentar lalu melenggang pergi. Mungkin kata-katanya kemarin terlalu kasar
untuk pria itu.
“Aku pulang!” Rae Yeon membuka pintu
dan keadaan rumah masih gelap. Itu berarti Tae Hyung belum pulang. Tapi hari
ini dia pulang terlambat lagi. Bukan karena jalan-jalan, tapi untuk berbelanja kebutuhan
masak. Pria itu biasanya sudah kembali pada jam seperti ini.
Rae Yeon
menyalakan lampu lalu menaruh belanjanya di meja dapur. Pergi ke kamar dan
mengganti pakaiannya. Gadis itu kembali ke dapur untuk memasukkan semua barang
belanjaan ke lemari es. Beruntung sekali dia sudah jago bersih-bersih rumah dan
memasak. Jadi memasak apapun bukan masalah baginya.
“Hah! Dia
bilang aku tidak bisa masak?” Rae Yeon berdecak dan menggerutu tidak jelas pada
diri sendiri. Telepon rumah berdering ketika dia memasukkan daging sapi ke
freezer. Gadis itu segera menghampiri telepon rumah yang berada di ruang
tengah.
“Yeoboseo? Rae
Yeon-ah?” Suara yang
sangat di kenalinya.
“Ibu! Ibu,
kenapa menelepon?” Tanya Rae Yeon.
“Tentu saja
karena ibu khawatir denganmu dan menantuku. Kau baik-baik sajakan? Kenapa ibu
yang terus meneleponmu? Sesekali kaulah yang menelepon ibu.” Ibu mengeluh.
“Aku baik-baik
saja. Kemarin aku sudah menelepon untuk bertanya. Jadi tidak perlu telepon
lagi.” Rae Yeon tertawa.
“Omo, kau ini!
Baik-baiklah dengan Tae Hyung-ah. Jangan egois dan jangan terlalu banyak
menuntut! Kalian berdua masih sangat muda. Ibu sangat tahu seperti apa dirimu,
aku khawatir Tae Hyung-ah bisa stress karenamu.” Ujar ibu panjang lebar.
“Kenapa bukan
dia saja yang mengalah? Lagi pula yang stress di sini justru aku.”
“Lihat, dari
perkataanmu itu menandakan ada sesuatu hal tidak baik yang terjadi di antara
kalian. Sudah ibu bilang, jadilah gadis penyayang yang penurut. Ibu tahu kalian
berdua itu sangat keras kepala dan ceroboh.” Ibu tidak bisa berhenti bicara sampai gadis itu menutup teleponnya
dengan beberapa kalimat sederhana.
“Kami baik-baik
saja. Aku bisa mengatasinya. Terima kasih sudah mengingatkan kami. Aku
menyayangimu bu.”
Rae Yeon
menghempaskan punggungnya di punggung sofa. Sepertinya benar apa kata ibunya.
Selama ini dia hanya bisa mengeluh akan sikap Tae Hyung, tapi tidak pernah bisa
memahaminya. Mau bagaimana lagi, kalian tidak tahu bagaimana ini semua bisa
terjadi. Dia akan mencoba menjadi istri yang baik dengan tanda kutip. Menyebut
kata ‘istri’saja sudah membuatnya merinding.
“Lebih baik aku
memasak.” Gadis itu bangkit sambil menggelung rambutnya yang teruntai
sepunggung.
“Sudah selesai.” Rae Yeon memandang
masakan buatannya dengan puas. Hari ini dia memasak banyak daging karena Tae
Hyung pernah bilang kalau dia suka makan daging. Terdengar suara pintu berdebam
dari pintu depan. Tae Hyung sudah pulang.
“Selamat
datang!” Seru Rae Yeon ketika melihat pria itu sudah berada di ambang pintu.
Tapi entah kenapa dia justru tertegun ketika laki-laki itu menatapnya dengan mata
yang berusaha tetap terbuka dan tatapan kosong.
“Ah, maaf Rae
Yeon-ah.” Tae Hyung cegukan. “Tadi temanku terus memintaku minum.” Pria itu
hampir saja jatuh, untungnya Rae Yeon segera menahan dan memapahnya untuk duduk
di sofa ruang tamu.
“Terima kasih.”
Tae Hyung meminum segelas air pemberian Rae Yeon. Pria itu melepas dasinya yang
sudah longgar, kancing kemeja bagian atasnya terbuka.
“Oppa.” Rae
Yeon duduk di kursi sebelah sofa yang diduduki Tae Hyung. Dia hanya memandang
pria yang saat ini bersamanya. Memegang nampan dengan gugup. “Aku minta maaf.”
“Hah?” Tae
Hyung menoleh, matanya masih berkunang-kunang dan badannya lemas sekali. Hampir
tidak bisa berdiri. “Harusnya aku yang minta maaf.” Katanya.
“Kenapa?” Tanya
Rae Yeon.
“Tentu saja
karena aku tidak memperlakukanmu dengan baik selama ini. Kau tahu, aku selalu
menyukaimu.” Dia cegukan lagi. “Salah, aku selalu mencintaimu. Agak jijik
mendengarnya. Tapi kenyataannya memang begitu. Kau tahu, aku ingin menikah
denganmu bukan tanpa alasan. Saat pertama kali melihatmu di taman ketika
memberi makan kucing jalanan, aku jadi sangat menganggumimu. Tapi aku tahu kau
hanya gadis usia 18 tahun yang masih suka jalan-jalan dan bermain. Yah, kau
juga sangat menyebalkan.”
Apa yang dia
bilang barusan? Apa ini yang namanya kejujuran ketika mabuk?
“Ucapkanlah
sesuatu!” Seru Tae Hyung yang masih dalam keadaan mabuk. Sedangkan Rae Yeon
hanya bisa diam dan mendengarkan, gadis itu menatapnya.
“Kemarikan.”
Tae Hyung mengambil nampan yang dibawa Rae Yeon dan melemparnya ke meja. Pria
itu menarik gadis itu agar duduk di sampingnya.
“Aku.” Tae Hyung menepuk dadanya sendiri. “Aku bisa
gila karena tidak bisa menyentuhmu sampai kau lulus sekolah.” Pria itu kembali
menepuk-nepuk dadanya.
“Setiap hari
kau tidur bersamaku dan melakukan apapun yang kau suka di depanku. Gila sekali
kalau mereka menyuruhku untuk hanya membiarkanmu dan tidak memperbolehkanku
menyentuhmu. Kita sudah menikah kau tahu?”
Rae Yeon
lagi-lagi tidak bicara apa-apa. Dia terlalu bingung dan gugup dengan semua yang
dikatakan Tae Hyung barusan.
“Kau harus
mengancingkan bajumu dengan benar.” Rae Yeon mengalihkan percakapan dengan
mengancingkan kemeja pria itu. Tapi pria itu justru mencegahnya dengan
tangannya yang menggenggam tangan gadis itu.
“Kenapa?
Udaranya dingin. Kau harus tidur, agar bisa bekerja besok. Atau kau ingin makan
dulu?” Rae Yeon terus mengalihkan pembicaraan dan menolak tatapan dari pria
dihadapannya ini.
Pria itu
mendekatkan wajahnya dan memiringkan kepalanya, sedikit menyentuh bibir gadis
itu dengan bibirnya. Pria itu pada akhirnyatertidur di pundak gadis itu.
“Padahal aku
sudah masak banyak makanan untukmu.” Gumam gadis itu pelan. Menepuk-nepuk
punggung Tae Hyung.
&&&&
Pagi hari masih seperti pagi
biasanya, tidak ada yang sesuatu yang terjadi atau kecanggung di antara mereka.
Rae Yeon berdiri di depan cermin untuk membenarkan tata rambut.
“Rae Yeon-ah,
tolong ambilkan kemejaku.” Pinta Tae Hyung dari dalam kamar mandi.
“Baik!” Tanpa
menoleh sebelumnya, gadis itu langsung keluar dari kamar untuk mengambil kemeja
yang diminta pria itu.
“Ini, aku
memilih yang berwarna biru.” Rae Yeon mengamati kemeja yang terlipat rapi, tapi
ketika kembali dia sangat terkejut dengan mulut terbuka lebar.
“Apa-apa’an
itu?! Cepat pakai bajumu!” Rae Yeon melempar setelan kemeja rapi itu tepat di
wajah Tae Hyung.
“Kau ini
kenapa?!” Pria itu terlihat kesal.
Bagaimana gadis
itu tidak marah, laki-laki itu keluar dari kamar mandi hanya memakai handuk
yang melilit pinggangnya.
“Kenapa kau
menutupi wajahmu begitu? Kupikir keadaan sudah membaik sejak kemarin malam.”
Tukas Tae Hyung.
“Kemarin malam?”
Rae Yeon masih menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Tidak sanggup melihat
pria itu berdiri dengan keadaan seperti itu.
“Siapa bilang
orang yang mabuk akan melupakan semua yang dilakukan dan diucapkannya?” Ketika
Tae Hyung mendekat pada Rae Yeon, gadis itu justru menendangnya dan keluar dari
kamar begitu saja.
“Kenapa dia begitu? Aku hanya ingin mengambil sabuk.” Tae Hyung
tidak mengerti.
&&&&
Jung Kook
memperlakukannya dengan sangat baik. Dia sangat perhatian dan penyayang untuk
orang yang punya tampang polos sepertinya. Jeon Jung Kook, benar-benar dibuat
tergila-gila oleh Kim Rae Yeon. Seorang gadis remaja pada umumnya yang ceria
dan aktif. Dia sangat menarik.
“Rae Yeon-ah.” Gumam Jung Kook tanpa membuka matanya. Laki-laki itu
tidur di pundak Rae Yeon ketika mereka sedang berada di bus.
“Hem?” Rae Yeon berdehem. Gadis itu juga sedang tidur dengan kepala
bersandar di punggung kursi.
“Apakah kau menyukaiku?”
“Apa?” Gadis itu terkejut dengan pertanyaan dadakan laki-laki ini.
“Apa aku harus mengulang pertanyaanku lagi?” Jung Kook mengangkat
wajahnya dan mengamati wajah Rae Yeon yang bersemu.
“Tidak perlu bilang, aku sudah tau jawabannya.” Jung Kook tersenyum
puas dan kembali tidur di pundak Rae Yeon.
Bagi gadis itu, Jung Kook adalah laki-laki yang penuh kejutan.
Contohnya seperti saat ini. Rae Yeon bahkan tidak mengerti bagaimana
perasaannya saat ini. Dia bahkan bingung siapa orang yang disukainya. Saat ini
dia merasa berdebar-debar bahkan tubuhnya serasa tidak bisa bergerak saat Jung Kook
tidur di pundaknya. Tapi di satu sisi, dia memikirkan laki-laki yang selama ini
selalu mengurus kebutuhan dan merawatnya setiap hari meskipun dia terkesan cuek
dan tidak perduli.
“Bagaimana ini?”
Batin Rae Yeon frustasi.
&&&&
“Aku pulang!” Gadis itu berseru hingga
suaranya memenuhi rumah. Melepas
sepatunya dan langsung menuju dapur untuk mencari segelas air dingin.
sepatunya dan langsung menuju dapur untuk mencari segelas air dingin.
“Omo!” Rae Yeon terkejut saat pria muda yang masih memakai pakaian
kerja lengkap tertidur dengan kepala di atas meja makan. Di depannya ada
segelas air dan beberapa kapsul di atas meja.
“Apa ini? Kemarin mabuk, tidak mungkin sekarang narkoba.” Rae Yeon
meraih sebiji kapsul dan memperhatikan benda itu dengan seksama. Gadis itu
mengangkat alisnya.
“Dia sakit atau apa?” Gadis itu mengusap kening Tae Hyung. Tidak
demam tapi berkeringat dingin. Ternyata laki-laki ini bisa sakit juga.
Pria itu bergumam tidak jelas. Tae Hyung tidur di ruang makan
dengan tangan yang memegangi perutnya. Keringat banyak membasahi pelipis. Punggungnya
juga basah. Laki-laki itu mengerutkan matanya yang terpejam. Rae Yeon jadi
prihatin dan menepuk pundak Tae Hyung untuk membangunkannya.
“Oppa, tidurlah di kamar, nanti punggungmu sakit.”
Tae Hyung belum merespon.
“Oppa.” Rae Yeon menepuk pundak Tae Hyung lagi. Pria itu akhirnya
bangun, rambutnya agak berantakan.
“Rae Yeon-ah.” Tae Hyung menggigit bibir bawahnya dan tangannya
meremas perutnya yang sakit. Dia terlihat kesakitan.
“Kau tidak apa-apa?” Tanya Rae Yeon gugup dan takut. Ekspresi Tae
Hyung terlihat mengerikan.
“Aku masuk angin.” Kata Tae Hyung pelan.
&&&&
“Itu
lucu sekali. Bagaimana bisa sampai ikut diguyur?” Gadis itu tertawa sambil
memberikan segelas teh hangat pada Tae Hyung yang tidur di kasur. Pria itu
sudah mengganti pakaiannya.
Tae Hyung melirik Rae Yeon dengan kesal. Gadis ini malah menertawai
ketika dia bercerita.
“Temanku yang berulang tahun ikut mengguyurku dengan air karena
hanya aku yang belum basah.” Tae Hyung meminum teh hangat pemberian Rae Yeon.
“Begitu?” Rae Yeon mangut-mangut. “Duduk!” Pinta gadis itu menaiki
kasur. Tae Hyung menurut saja.
“Berbalik.” Pinta Rae Yeon lagi. Meski bingung, Tae Hyung langsung
duduk membelakangi Rae Yeon. Tiba-tiba anak perempuan itu mengangkat kaos yang
dipakainya, Tae Hyung terlonjak dan berbalik.
“Apa-apa’an ini?” Tae Hyung mulai gusar.
“Tidak mau kupijit?” Rae Yeon mengangkat botol minyak di tangannya.
Pria itu melirik botol yang dibawa Rae Yeon dengan tidak yakin.
“Memangnya bisa?”
“Kau mengejekku?” Gadis itu mengangkat sudut bibirnya sambil
memicingkan matanya. Dia kembali meminta Tae Hyung untuk tetap berbalik.
“Saat aku
masuk angin, ibu selalu memijitku. Kau ini tidak percaya sekali padaku.
Begini-begini aku pintar melakukan apapun.” Tutur Rae Yeon bangga.
“Iya, aku percaya.” Tae Hyung hanya mengangguk. Rae Yeon pintar
memijit juga ternyata.
Gadis itu menatap punggung tegap Tae Hyung yang memerah karena
dipijitnya. Dia menghela nafas.
“Kenapa?”
“Tidak apa-apa.” Rae Yeon menggeleng. “Oleskan di perutmu.” Dia
menyodorkan botol minyak itu.
“Baiklah.” Tae Hyung mengambil botol minyak dan mengoles beberapa
tetes minyak di perutnya.
“Kenapa berhenti?” Tanya Tae Hyung lagi karena Rae Yeon berhenti
memijitnya.
“Tidak, aku tidak berhenti.” Tukas gadis itu dengan agak terbata.
Tae Hyung berbalik menghadap Rae Yeon yang terlihat gugup. Mata
gadis itu hanya menatap tangannya yang terlihat licin karena minyak.
“Lebih baik sambil tidur saja.” Rae Yeon tertawa tidak jelas untuk
menutupi rasa malu. Pria itu kembali menurut dan berbaring. Suasana jadi
sedikit canggung saat ini. Biasanya akan terjadi perdebatan sengit kalau mereka
bersama. Entah kenapa atmosfir dalam ruangan ini jadi meningkat.
“Tanganmu dingin.” Ujar Tae Hyung yang menikmati dipijit oleh gadis
itu. Pria muda itu tidur.
“Bohong, aku kan pakai minyak. Harusnya panas.” Elak Rae Yeon.
“Tidak, memang dingin.” Katanya pelan. Telapak tangan Rae Yeon
memang dingin ketika menyentuh perutnya, padahal tangannya menggunakan minyak.
Rae Yeon berhenti memijit. Bukan karena tanpa alasan. “Aku tidak
bisa memijit kalau kau begitu.”
“Begini sebentar tidak apa-apa.” Tae Hyung mengalihkan wajahnya
ketempat lain, asal itu bukan pada Rae Yeon. Pria itu tersenyum malu dengan
tangannya yang menggenggam telapak tangan Rae Yeon yang kembali menghangat.
&&&&
Tae Hyung
akhirnya tertidur sehabis dipijat. Rae Yeo beranjak dari ranjang dan duduk dipinggiran
kasur. Pundak gadis itu naik turun, berusaha agar suaranya tidak keluar dan
membangunkan laki-laki yang tidur.
“Aku buruk sekali.” Gadis itu menangis dan keluar dari kamar.
Dia tidak bisa selamanya bersama dengan laki-laki lain sementara
ada Tae Hyung bersamanya. Menyakiti perasaan dua laki-laki yang disayanginya
membuatnya tertekan. Harusnya dia tidak perlu menerima perasaan Jung Kook.
“Rae Yeon-sshi. Kau tidak apa-apa?” Salah seorang teman perempuan
Rae Yeon menepuk bahunya. Gadis itu mengerjapkan mata dan tersenyum pada teman
perempuanya itu.
“Maaf, tadi ada nyamuk lewat.” Rae Yeon kembali membawa beberapa
kardus ke dalam ruangan karya seni. Sorenya gadis itu pergi kembali ke sekolah
untuk mengikuti kegiatan ekstra. Pria itu akan tertidur untuk beberapa jam
kedepan, dan dia akan baik-baik saja.
“Rae Yeon-ah!” Seseorang memanggilnya lagi
dengan suara yang lebih bersemangat. Gadis itu mengibaskan celana trainingnya
yang terkena debu. Seorang laki-laki manis masuk dengan wajah sumringah.
“Kau di sini?” Rae Yeon bingung melihat Jung Kook juga sedang
berada di sekolah. Setahunya, ektra basket bukan hari ini.
“Aku?” Jung Kook mencari beberapa alasan. “Ada yang sedang
kulakukan di sini.”
Jung Kook membantunya membawa beberapa kardus ke dalam ruang karya
seni. Dengan cepat semua kardus sudah masuk.
“Terima kasih Kookie-ah, sudah ikut membantu.” Senior perempuan
mengacak rambut Jung Kook dengan gemas.
“Sama-sama sunbae.” Kata Jung Kook sedikit membungkuk.
Setelah penutupan kegiatan ektra seni yang dihadiri Rae Yeon dan
teman-temannya yang lain, gadis itu pulang bersama Jung Kook. Laki-laki itu
mengajaknya berkeliling sekolah sebentar. Padahal mereka berdua sudah hapal
betul letak-letak sekolah yang besar itu.
“Jung Kook-ah.”
Panggil Rae Yeon kepada Jung Kook yang sedang asyik melihat sekeliling.
Laki-laki itu menoleh dan berdehem. Karena tinggi mereka, Jung Kook harus
sedikit menunduk.
“Jung Kook-ah.” Gadis itu menelan ludahnya. “Aku sudah mencoba
untuk menjalani ini. Tapi sepertinya aku tidak bisa.”
Jung Kook yang selalu tersenyum memperlihatkan raut wajah yang
berkebalikan. “Kenapa?”
“Kau adalah laki-laki yang pintar, ramah, keren, dan dapat
melakukan banyak hal dengan baik.” Rae Yeon mengangkat wajahnya yang tertunduk.
“Kau terlalu baik. Dan aku...” Perkataan Rae Yeon terputus karena Jung
Kook tiba-tiba memeluknya.
“Jangan! Aku tidak mau.” Kata Jung Kook pelan. Menenggelamkan
kepalanya di bahu kecil Rae Yeon.
“Aku sangat menyangimu. Aku menyukaimu. Tapi itu hanya sebagai
teman. Kalau terus begini, aku sama saja membohongimu. Dan aku tidak mau
melukai perasaanmu lebih dari ini.”
Jung Kook melepas pelukannya dan menatap gadis itu. “Maafkan aku.
Aku harusnya tidak egois.” Laki-laki itu mengusap matanya yang berair dengan
lengan baju panjangnya. Dia tertawa untuk menutupinya. “Aku harusnya tidak
begini. Maafkan aku.” Dia hanya minta
maaf, berusaha menutupi wajahnya yang mungkin akan terlihat payah di hadapan
Rae Yeon. Dia laki-laki, tidak boleh menangis.
“Harusnya aku yang minta maaf.” Rae Yeon ikut menangis.
“Kenapa ikut menangis?” Jung Kook menunduk dan mengusap mata Rae
Yeon. Dia tertawa lagi.
“Terima kasih.” Kata gadis itu pelan. “Terima kasih karena sudah
menyukaiku.”
“Terima kasih juga, karena sudah menjadi gadis yang kusukai.” Kata
Jung Kook.
“Hey kalian!”
Suara teriakan seseorang membuat mereka berdua menoleh.
“Aigoo, jantungku!” Pria itu menepuk dadanya yang kekurangan
oksigen karena kelelahan berlari.
“Oppa!” Rae Yeon terkejut dua kali lipat saat Tae Hyung kemari
dengan tergopoh-gopoh.
“Rae Yeon-ah, kau melupakan ini.” Tae Hyung menyerahkan tas kecil
berwarna biru yang di selempangkan di pundaknya. Tas kecil biru milik Rae Yeon.
“Kenapa disini? Harunya kau tidur.” Kata Rae Yeon tidak habis
pikir.
Tae Hyung tidak menjawab dan malah mengamati kedua anak muda itu.
“Kalian kenapa? Kenapa kalian menangis? Kalian habis nonton film?”
“Tidak.” Jung Kook menggeleng dengan senyum sopan.
“Kalau begitu, permisi. Aku akan pulang lebih dulu.” Jung Kook
membungkuk dan pergi setelah melambai pada keduanya.
“Selamat jalan, hati-hati!” Seru Tae Hyung. Jung Kook mulai
menghilang dari balik tembok gedung sekolah.
“Dia kenapa?” Tanya Tae Hyung yang masih belum mengerti.
“Tidak apa-apa. Kalau ku jelaskan juga tidak akan mengerti.” Kata
Rae Yeon. “Ayo pulang!” Gadis itu berjalan lebih dulu.
“Pulang? Aku baru saja sampai.” Tae Hyung menarik tangan Rae Yeon.
“Kegiatan sudah selesai. Kau masih mau di sini?” Rae Yeon tertawa
melihat ekpresi Tae Hyung yang konyol.
“Aku tidak mau pulang begitu saja. Aku sudah jauh-jauh dari rumah.”
Tae Hyung ngotot.
“Tapi kau sakit. Nanti masuk angin lagi.” Rae Yeon geregetan.
“Sini!” Tae Hyung menyambar tangan Rae Yeon dan menggandengnya. Tangan
pria itu terasa berminyak. Kalian tahu kenapa.
Tae Hyung dan Rae Yeon pulang bersama, mereka lebih terlihat
seperti kakak dan adik daripada pasangan muda yang baru saja menikah.
“Kau tahu.” Tae Hyung mendahului pembicaraan.
“Apa?”
“Kita ini sama-sama tidak peka. Sama-sama menyebalkan. Jadi tolong
terima aku apa adanya.” Tae Hyung mengucapkan itu dengan mengalihkan wajahnya
ke tempat lain. Bukan pada Rae Yeon yang diajaknya bicara. Dia malu mengucapkan
itu. Padahal biasanya dia blak-blakan.
“Iya.” Rae Yeon hanya menjawab dengan sangat singkat.
Tae Hyung menoleh pada tangannya yang digenggam lebih erat oleh Rae
Yeon.
“Sepertinya aku mulai menyukaimu.” Rae Yeon menampilkan barisan
giginya.
“Kenapa kau baru bilang itu sekarang?” Tanya Tae Hyung dengan wajah
memerah karena malu.
~ FIN ~
Thank for reading Army...
0 komentar:
Posting Komentar