Selasa, 02 Februari 2016

My Girlfriend's is My Heater



My Girlfriend's is My Heater

 

Title : My Girlfriend’s is My Heater
Author : Yoon Sha Si
Cast : Kim Namjoon (BTS) and Lee Tifa (OC)
OC : all member of BTS
Genre : life, romance, psikologi(?)
Chapter : 2

Happy Reading

@14.00 KST

            Langit sudah tak lagi mendung seperti sebelum-sebelumnya. Cahaya hangat matahari  melewati celah-celah awan, memberi gambar bayang-bayang pada jalan setapak beraspal. Pria itu menyaku tangan kanan, sedang tangan satunya menggenggam ponsel. Mengutak-atik keypad, mengetik balasan chat di sana.

‘Sebentar lagi aku sampai. Kalian tunggu saja.’

Send.

Setelah memastikan pesan balasannya benar-benar terkirim, ia memasukkan benda itu kembali ke dalam kantong celana. Menyaku kedua tangannya. Menatap kaki berselimut sepatu yang membawanya menuju restoran teripang.
Pikirannya kembali pada beberapa menit yang lalu. Saat dimana ia duduk di meja lesehan, menikmati semangkuk ramen dan teobokki pedas.
‘Lagu menjijikkan seperti itu sama sekali tidak  ingin ku dengar.’
‘Siapapun yang pernah datang kemari, adalah keluarga dan teman kami.’
Dia bingung memilih mana yang tepat.
Benarkah lagu yang digarapnya bersama rekan-rekan sampai dibantu tidak tidur semalaman tak berhasil mengetuk dan menjangkau hati pendengar? Apakah lagunya seburuk itu?
‘Lagu yang sangat indah.’
‘MV dan lagunya membuatku menangis terharu. Tolong terus mengeluarkan lagu seperti ini!’
“Bangtan Seonyeondan, I love you!’
Tidak. Jangan berpikir begitu! Mengingat semua pujian dan harapan yang masuk membanjiri media sosial diakun mereka, membuat semangat dan mood-nya kembali membaik. Tidak semua orang membencimu, ingat, bahwa ada banyak orang yang mencintaimu.
Mendengar tanggapan buruk dari berbagai kalangan sudah sering dialaminya, syukurlah mereka selama ini dapat menanggapinya dengan baik dan dewasa. Tanggapan buruk tak dapat menjatuhkan mereka untuk terus berkarya.
‘Lagu menjijikkan seperti itu sama sekali tidak  ingin ku dengar.’
Kepalanya sakit. Kenapa kalimat itu tidak bisa pergi? Andai saja dia tidak mendengar kalimat itu secara langsung dan pura-pura tuli, efeknya mungkin tidak akan terlalu besar.
Kalau begini terus, dia tidak mungkin bisa kembali ke kedai itu lagi. Ayolah, pikirkan sisi positifnya! Pasti ada sesuatu hal yang membuatnya begitu. Dia─gadis itu, sama sekali tidak berusaha menjelekkan nama mereka dihadapan semua orang. Kalau mau, sudah dari awal Tifa─namanya, memaki atau bahkan menyumpah di depan dua anak sekolahan tadi.
Dia tidak melakukannya. Dan itulah pertanyaan sesungguhnya.
“Hyung, kau kemana saja?”
Eh? Sudah sampai di depan restoran?
“Maaf aku lama.” Namjoon mempercepat langkah kakinya. Mendekat pada  ke enam teman seperjuangan yang sudah berdiri di depan pintu kaca.
“Tadi makan dimana?” Taehyung bertanya.
“Kami makan banyak. Kau makan apa?” kali ini si Hopie.
“Apakah ada orang yang mengikutimu?” sekarang si tukang percaya diri, Jimin.
“Hyung, maafkan aku karena sudah meminta makan siang di sini.” Maknae itu merangkul lehernya.
“Tunggu, kalian bicaralah satu-persatu! Namjoon kelihatan bingung.” Ah, Seokjin dan Yonggi tahu saja.
“Aku makan ramen dan teobokki.”
“Ajak kami ke sana lain kali.”
“Tentu saja. Sangat lezat, aku ingin datang lagi, mungkin lagi, lagi, dan lagi.”
Apakah se’enak itu? Keenam pemuda itu saling pandang. Memangnya apa yang spesial dari ramen dan teobokki standart pesanan Namjoon?
“Rasanya akan beratus kali lipat lebih nikmat, setelah kau mendapat banyak pelajaran berharga begitu keluar dari sana.”

*****

@Kediaman Lee. 21.30 KST.

            Merebahkan tubuh payahnya di kasur. Melirik jam dinding. Hampir jam sepuluh malam. Ia membalik badannya, tengkurap. Kamera berhidung panjang itu bertengger manis di nakas kecil bersebelahan dengan lampu tidur. Ia mengamati kembali ruangan yang sudah di tempatinya selama hampir 7 tahun ini.
Tidak berubah, masih sama dengan nuansa hijau toska, hanya kertas-kertas foto yang terus bertambah setiap harinya menghiasi dinding kamar. Bahkan ada satu sisi yang cat dindingnya hampir tak terlihat akibat penuh tertempel lembaran-lembaran jepretan view alam yang menyejukkan mata. Hasil potretannya.
Selamanya. Dia ingin tetap menjadi seorang fotografet bebas, mengirim banyak foto-foto indah dan ingin terus melihat salah satu karyanya berhasil terpajang di pameran.
Matanya berhenti pada sebuah pigura kecil di atas meja rias di sebelah kanan. Itu foto ayah dan ibu.
“Ayah, sampai sekarang aku akan terus membenci mereka semua. Untuk ayah.”
Tak lama, matanya tertutup. Memperlihatkan kolase-kolase mimpi yang terus berputar bergiliran.

@Dorm. 00.31 KST.

            Gesekan pena dengan kertas masih terdengar dalam ruangan itu. Remang-remang cahaya lampu tidur menerangi sebagian kecil daerah kamar. Anak itu masih saja menulis, lagu dari mp3 mengalun melalui earphone yang terpasang di telinga. Kepalanya mengangguk-angguk pelan, meresapi melodi dari earphone sesekali menggumamkan lirik lagu yang ditulisnya, lirik lagu ke 7 untuk malam ini.
Deritan samar terdengar dari kasur milik Jungkook. Pada tengah malam, suara dan gerakan sekecil apapun dapat terdengar jelas meskipun ia sedang mendengarkan lagu.
“Hyung, tidurlah. Kau harus segera tidur.”
Jungkook terbangun. Lelaki itu mengucek mata lalu menguap. Mengingatkan Namjoon yang hampir belum tidur sama sekali. Mereka baru sampai di dorm pukul 11 malam. Baru 1 jam 31 menit ia beristirahat. Itupun terganggu karena Namjoon yang terus saja tak berhenti dengan buku dan penanya.
“Sebentar lagi. Kau tidurlah dengan nyenyak, jangan hiraukan aku.” Namjoon melepas earphone ketika berbicara, setelah selesai, ia memasangnya kembali.
“Saat ini Yonggi-hyung mungkin sedang menulis lagu juga.” suara Jungkook sedikit serak. Ia merapatkan kembali selimut sampai ke dagu.
“Kau tahu itu.” tambah Namjoon.
“Hyung.”
“Hem?”
“Apa ada yang mengganggumu?”
“Siapa?” Namjoon balik bertanya dengan pertanyaan bodoh. Sekarang ia melepas penuh benda yang menyumpal telinganya. Mendengarkan Jungkook lebih seksama.
“Siapapun dan apapun. Kau selalu terlihat gelisah dan khawatir saat ada sesuatu yang menganggumu.”
Hah, Jungkook terlalu mengerti dirinnya.
“Bukan, tidak seperti itu.” Namjoon menggeleng. Menutup buku dan menyimpan semua benda-benda keramatnya. “Tidurlah, aku juga akan tidur. Jangan pikirkan apapun.Selamat malam Jung.”
Namjoon mematikan lampu terakhir yang menyala. Sedangkan Jungkook tak berkata apa-apa.
Jungkook tahu sekali. Si Leader ini sedang menyimpan sesuatu.
“Aku tunggu sampai kau bercerita padaku, hyung.”
“Jungkookie, tidurlah.”

*****

@Studio Stasiun Televisi. 09.00 KST

            Seorang lelaki dengan rambut bercat oranye mengetuk-ngetuk jendela kaca di belakangnya. Melihat keadaan di bawah. Banyak orang berkumpul di depan pagar studio. Tak sekadar banyak, ada ratusan orang berjingkrak, berteriak, juga menangis dengan kepala menengadah. Melihat dirinya di atas.
“Jimin, berhenti melakukan itu!”
Auch! Kepalanya dipukul oleh benda ringan namun menganggetkan. Lelaki itu memegangi kepalanya. Menoleh ke belakang dengan cepat. Orang ini mengganggu saja!
“Hyung!”
Jimin memicingkan mata, menatap kesal laki-laki yang tengah balik menatapnya. Gulungan kertas jadwal kegiatan mereka hari ini yang digunakan untuk memukul kepalanya barusan, tetap berada di tangan Mr. Leader.
Jimin menatap tajam gulungan kertas itu. Tak peduli dan kembali pada kaca jendela besar, menyapa orang-orang di bawah. Oh lihat, mereka semakin histeris ketika Namjoon datang.
“Sudah kubilang hentikan itu!” Namjoon memukulnya lagi. Memangnya dia salah apa sih?
“Apa yang salah denganmu hyung? Berhenti memukul ku!” Jimin balas memukul pinggang Namjoon. Laki-laki ini marah.
“Jangan melambai seperti itu. Kau seperti orang yang kurang perhatian saja.” Namjoon duduk di samping Jimin. Membuka gulungan kertas di tangannya.
“Bukankah tugas kita memang membuat perhatian? Apa salahnya dengan itu. Mereka datang kemari untuk melihat kita, kalau kita diam saja dan tidak menampakkan batang hidung, itu sama saja dengan mengecewakan ARMY. Mereka ingin bertemu kita bertujuh.” kata Jimin.
Namjoon terdiam, merenungi kalimat panjang Jimin. Kata-kata anak itu ada benarnya.
Aish, anak ini membuat semua hal-hal yang dipikirkannya selama perjalanan kemari menjadi hancur berkeping-keping.
Ya. Mereka berada di gedung besar ini memang untuk menarik perhatian banyak orang di Korea Selatan dengan bakat mereka. Bukan hanya negara ini, seluruh dunia harus mereka rambahi. Tapi....
Ini hanya hasil pemikirannya saja. ‘Apakah mereka selama ini berlebihan?’
Dia baru saja membaca komentar dan postingan dari sebuah grup di media sosial yang tanda kutip: tidak menyukai mereka. Menurut sudut pandang dirinya sendiri, dia telah berusaha menguras tenaga, melakukan apa yang dia bisa untuk menyenangkan orang lain. Memberi semangat dengan lagu mereka.
Tapi, menurut sudut pandang orang-orang itu sangatlah berbeda. Kumpulan orang yang tergabung dalam grup itu menjelek-jelekkan mereka. Mengatakan hal buruk mengenai dunia hiburan. Hanya ada hitam tanpa ada putih dalam semua percakapan diakun media sosial itu.
Mata hatinya terbuka ketika mendengar semua penuturan berupa cacian dan olokan.
Tidak hanya mereka yang jadi bahan pembicaraan. Beberapa publik fugure pun tak luput dari obrolan tak bermakna itu.
Berkat kata-kata luar biasa di kedai ramen dan teobokki, membuatnya tidak hanya mencari cara untuk terus maju. Tapi juga cara untuk memperbaiki diri sendiri. Ia tidak boleh terus menutup mata dan bersenang-senang menikmati hujan pujian dan kata cinta. Keluar dari zona nyaman dan sesekali melirik jurang serta mencoba melewatinya adalah hal yang harus ia lakukan.
Dan itulah yang dipikirkannya selama berjalan menuju tempat duduk di samping Jimin.
Ia akan menambahkan dan menggabung kalimat Jimin dengan persepsinya.
Clear. Otaknya telah menyimpan berkas berharga itu.
“Jimin.”
“Hum?”
“You got no jams, right!”
“Maksutmu apa sih hyung? Aneh,” Jimin tertawa.

*****

@Studio Photograph and Printing Office. 10.00 KST

“Hey, editor yang lain mana?”
“Yoon, aku butuh staples!”
“Jangan nyenggol-nyenggol dong!”
“Aduh, tintanya bocor! Yang di sana, tolong belikan tinta yang baru! Cepat!”
Ramai dan riuh, kegiatan sehari-hari kantor percetakan besar itu. Namanya juga perusahaan terkenal, banyak orderan dan juga permintaan pelanggan yang menumpuk. Gadis dengan binnie merah maroon di kepala menunjuk dirinya sendiri, seorang wanita berambut acak-acakan yang berdiri tak jauh darinya juga tengah menunjukknya.
“Iya, kau. Siapa lagi yang tidak sibuk di sini selain dirimu? Cepat belikan tinta kertas di toko Hanjeo, jika sampai di sana, katakan atas nama perusahaan ini. Aku akan menelepon reparasi.” wanita itu mulai menempelkan ponsel ke telinga, mengisyarat kata ‘pergilah, secepatnya’ dengan sekali kibasan tangan.
“Ba-baik sunbaenim.” Gadis itu menyelampang tas dan menggantung kembali camera berbelalai panjang di lehernya. Pamit pergi sebentar pada editor yang tadi bicara dengannya.
Sepeninggal gadis itu, wanita tadi sempat melotot pada si pria editor yang tersisa di ruangan itu.
“Kerjakan dengan benar tugasmu!” bentaknya.
“Kau juga, kenapa menyuruhnya? Dia hanya seorang fotografer.”
“Ups, benarkah? Kukira karyawan di sini. Eh, bukankah tadi fotografer Lee?”
            Gadis itu─Tifa, mengayuh sepedanya menyusuri jalur pesepeda. Menoleh ke kanan dan kiri sisi jalan. Cafe, distro, supermarket, cafe lagi, distro lagi. Pertokoan seperti itu yang dilihatnya selama mengayuh sepeda hampir 5 menit perjalanan. Dia bukannya tidak tahu letak toko yang disebutkan wanita tadi. Hanya saja, letaknya terlalu jauh dari kantor. Bukankah itu keterlaluan? Menyuruh orang yang bukan pekerja di kantor itu untuk membelikan tinta secara mendadak. Mungkin dia terlalu sibuk hingga lupa wajah rekan kerjanya sendiri.
“Aku lupa tidak minta uang pada nona Min.” Ia memukul pelan kepalanya. Nona Min─nama wanita tadi, bagaimana ia akan beli tinta kalau dia tidak bawa uang?
Sampai dipersimpangan, ia berbelok ke kanan. Menemukan keramaian di ujung sana. Hampir saja lupa, gedung pencakar langit itu memang selalu ramai, dan ia tahu alasannya apa.
“Aish, orang-orang ini menutup jalan saja.” gerutunya. Lihat saja, jalur sepeda tertutup oleh entah berapa orang, ratusan mungkin. Mereka berteriak-teriak heboh, seperti orang kerasukan dengan wajah menatap ke atas pada sebuah jendela.
“Permisi!” bodoh sekali membunyikan bel sepeda pada mereka. Orang-orang yang hampir keseluruhan adalah gadis remaja ini hanya melirik lalu kembali berteriak.
Tifa merengut, menggigit gigi-giginya sendiri dengan kesal. Apa yang sedang mereka lihat? Ia ikut mengangkat wajah, mencari sesuatu yang telah membuat kerumunan para manusia ini begitu... Histeris.
Ia mengerti sekarang.
Mereka semua tengah melihat tingkah polah dua orang di atas, di salah satu jendela yang tak terlalu tinggi, sehingga dua orang itu cukup jelas penampakannya. Salah satu pria berambut oranye menggelikan tengah melambai ke bawah pada mereka, sedang satunya berambut merah muda, atau entahlah, hanya melihat pada pusat yang sama tanpa melakukan apa-apa.
“Itu pasti mereka.” gumam Tifa. Nada suaranya terdengar tidak suka.
Ia mengangkat kamera, menjadikan kerumunan juga jendela dengan dua orang pria fotogenik di atas sebagai titik fokus lensa kamera. Objek yang menarik.
“Ini adalah fenomena. Sekumpulan orang tanpa harapan.” 
 
─Ceklik─

Sekali lagi. Memperlihatkan lebih jelas wajah kedua pria itu dengan fitur pembesar gambar pada kamera. Pria berambut merah muda secara kebetulan tepat menatap pada lensanya.
“Tunggu, orang itu?” 

─Ceklik─

“Sial Jim!”
“Kau sedang marah padaku?”
“Bukan! Ah, maafkan aku. Sial, sial, sial.”
“Hyung, berhenti mengumpat! Kau sangat aneh hari ini.” Jimin tidak berhenti tertawa.
Laki-laki itu langsung beranjak dari tempat duduk, menjauh dari Jimin juga dari jendela, hanya karena sebuah kamera yang berhasil membidik mereka. Ia telah melihat pemandangan abstrak di bawah, di antara kerumunan para penggemar. Di bawah sana banyak kamera teracung, tapi yang satu ini sungguh berbeda. Yang membuatnya berbeda adalah si pembidik. Ia hapal dan tahu betul bentuk fisiknya─orang yang dia kenal.
“Jangan sekarang, jangan sekarang.”
Gadis itu belum boleh tahu siapa dirinya.

To Be Continued

Sorry kalo makin banyak kata-kata yang bikin, nyesss....
Maklumi aja yah, imajinasi author lagi labil soalnya, Coment  and dont plagiat, oke??

0 komentar:

Posting Komentar