My Girlfriend's is My Heater
Title : My Girlfriend’s
is My Heater
Author : Yoon
Sha Si
Cast : Kim
Namjoon (BTS) and Lee Tifa (OC)
OC : all member
of BTS
Genre : life,
romance, psikologi(?)
Chapter : 2
Happy Reading
@14.00 KST
Langit
sudah tak lagi mendung seperti sebelum-sebelumnya. Cahaya hangat matahari melewati celah-celah awan, memberi gambar
bayang-bayang pada jalan setapak beraspal. Pria itu menyaku tangan kanan,
sedang tangan satunya menggenggam ponsel. Mengutak-atik keypad, mengetik
balasan chat di sana.
‘Sebentar lagi aku sampai. Kalian tunggu saja.’
Send.
Setelah memastikan pesan balasannya benar-benar
terkirim, ia memasukkan benda itu kembali ke dalam kantong celana. Menyaku
kedua tangannya. Menatap kaki berselimut sepatu yang membawanya menuju restoran
teripang.
Pikirannya kembali pada beberapa menit yang
lalu. Saat dimana ia duduk di meja lesehan, menikmati semangkuk ramen dan
teobokki pedas.
‘Lagu menjijikkan seperti itu sama sekali
tidak ingin ku dengar.’
‘Siapapun yang
pernah datang kemari, adalah keluarga dan teman kami.’
Dia bingung memilih mana yang tepat.
Benarkah lagu yang digarapnya bersama
rekan-rekan sampai dibantu tidak tidur semalaman tak berhasil mengetuk dan
menjangkau hati pendengar? Apakah lagunya seburuk itu?
‘Lagu yang sangat indah.’
‘MV dan lagunya membuatku menangis terharu.
Tolong terus mengeluarkan lagu seperti ini!’
“Bangtan Seonyeondan, I love you!’
Tidak. Jangan berpikir begitu! Mengingat semua
pujian dan harapan yang masuk membanjiri media sosial diakun mereka, membuat semangat
dan mood-nya kembali membaik. Tidak semua orang membencimu, ingat, bahwa ada
banyak orang yang mencintaimu.
Mendengar tanggapan buruk dari berbagai
kalangan sudah sering dialaminya, syukurlah mereka selama ini dapat menanggapinya
dengan baik dan dewasa. Tanggapan buruk tak dapat menjatuhkan mereka untuk
terus berkarya.
‘Lagu menjijikkan seperti itu sama sekali
tidak ingin ku dengar.’
Kepalanya sakit. Kenapa kalimat itu tidak bisa
pergi? Andai saja dia tidak mendengar kalimat itu secara langsung dan pura-pura
tuli, efeknya mungkin tidak akan terlalu besar.
Kalau begini terus, dia tidak mungkin bisa
kembali ke kedai itu lagi. Ayolah, pikirkan sisi positifnya! Pasti ada sesuatu
hal yang membuatnya begitu. Dia─gadis itu, sama sekali tidak berusaha
menjelekkan nama mereka dihadapan semua orang. Kalau mau, sudah dari awal
Tifa─namanya, memaki atau bahkan menyumpah di depan dua anak sekolahan tadi.
Dia tidak melakukannya. Dan itulah pertanyaan
sesungguhnya.
“Hyung, kau kemana saja?”
Eh? Sudah sampai di depan restoran?
“Maaf aku lama.” Namjoon mempercepat langkah
kakinya. Mendekat pada ke enam teman
seperjuangan yang sudah berdiri di depan pintu kaca.
“Tadi makan dimana?” Taehyung bertanya.
“Kami makan banyak. Kau makan apa?” kali ini si
Hopie.
“Apakah ada orang yang mengikutimu?” sekarang
si tukang percaya diri, Jimin.
“Hyung, maafkan aku karena sudah meminta makan siang
di sini.” Maknae itu merangkul lehernya.
“Tunggu, kalian bicaralah satu-persatu! Namjoon
kelihatan bingung.” Ah, Seokjin dan Yonggi tahu saja.
“Aku makan ramen dan teobokki.”
“Ajak kami ke sana lain kali.”
“Tentu saja. Sangat lezat, aku ingin datang
lagi, mungkin lagi, lagi, dan lagi.”
Apakah se’enak itu? Keenam pemuda itu saling
pandang. Memangnya apa yang spesial dari ramen dan teobokki standart pesanan
Namjoon?
“Rasanya akan beratus kali lipat lebih nikmat,
setelah kau mendapat banyak pelajaran berharga begitu keluar dari sana.”
*****
@Kediaman Lee. 21.30 KST.
Merebahkan
tubuh payahnya di kasur. Melirik jam dinding. Hampir jam sepuluh malam. Ia
membalik badannya, tengkurap. Kamera berhidung panjang itu bertengger manis di
nakas kecil bersebelahan dengan lampu tidur. Ia mengamati kembali ruangan yang
sudah di tempatinya selama hampir 7 tahun ini.
Tidak berubah, masih sama dengan nuansa hijau
toska, hanya kertas-kertas foto yang terus bertambah setiap harinya menghiasi
dinding kamar. Bahkan ada satu sisi yang cat dindingnya hampir tak terlihat
akibat penuh tertempel lembaran-lembaran jepretan view alam yang menyejukkan
mata. Hasil potretannya.
Selamanya. Dia ingin tetap menjadi seorang
fotografet bebas, mengirim banyak foto-foto indah dan ingin terus melihat salah
satu karyanya berhasil terpajang di pameran.
Matanya berhenti pada sebuah pigura kecil di
atas meja rias di sebelah kanan. Itu foto ayah dan ibu.
“Ayah, sampai sekarang aku akan terus membenci
mereka semua. Untuk ayah.”
Tak lama, matanya tertutup. Memperlihatkan
kolase-kolase mimpi yang terus berputar bergiliran.
@Dorm. 00.31 KST.
Gesekan
pena dengan kertas masih terdengar dalam ruangan itu. Remang-remang cahaya lampu
tidur menerangi sebagian kecil daerah kamar. Anak itu masih saja menulis, lagu
dari mp3 mengalun melalui earphone yang terpasang di telinga. Kepalanya
mengangguk-angguk pelan, meresapi melodi dari earphone sesekali menggumamkan
lirik lagu yang ditulisnya, lirik lagu ke 7 untuk malam ini.
Deritan samar terdengar dari kasur milik
Jungkook. Pada tengah malam, suara dan gerakan sekecil apapun dapat terdengar jelas
meskipun ia sedang mendengarkan lagu.
“Hyung, tidurlah. Kau harus segera tidur.”
Jungkook terbangun. Lelaki itu mengucek mata
lalu menguap. Mengingatkan Namjoon yang hampir belum tidur sama sekali. Mereka
baru sampai di dorm pukul 11 malam. Baru 1 jam 31 menit ia beristirahat. Itupun
terganggu karena Namjoon yang terus saja tak berhenti dengan buku dan penanya.
“Sebentar lagi. Kau tidurlah dengan nyenyak,
jangan hiraukan aku.” Namjoon melepas earphone ketika berbicara, setelah
selesai, ia memasangnya kembali.
“Saat ini Yonggi-hyung mungkin sedang menulis
lagu juga.” suara Jungkook sedikit serak. Ia merapatkan kembali selimut sampai
ke dagu.
“Kau tahu itu.” tambah Namjoon.
“Hyung.”
“Hem?”
“Apa ada yang mengganggumu?”
“Siapa?” Namjoon balik bertanya dengan
pertanyaan bodoh. Sekarang ia melepas penuh benda yang menyumpal telinganya.
Mendengarkan Jungkook lebih seksama.
“Siapapun dan apapun. Kau selalu terlihat
gelisah dan khawatir saat ada sesuatu yang menganggumu.”
Hah, Jungkook terlalu mengerti dirinnya.
“Bukan, tidak seperti itu.” Namjoon menggeleng.
Menutup buku dan menyimpan semua benda-benda keramatnya. “Tidurlah, aku juga
akan tidur. Jangan pikirkan apapun.Selamat malam Jung.”
Namjoon mematikan lampu terakhir yang menyala.
Sedangkan Jungkook tak berkata apa-apa.
Jungkook tahu sekali. Si Leader ini sedang
menyimpan sesuatu.
“Aku tunggu sampai kau bercerita padaku,
hyung.”
“Jungkookie, tidurlah.”
*****
@Studio Stasiun Televisi. 09.00 KST
Seorang
lelaki dengan rambut bercat oranye mengetuk-ngetuk jendela kaca di belakangnya.
Melihat keadaan di bawah. Banyak orang berkumpul di depan pagar studio. Tak
sekadar banyak, ada ratusan orang berjingkrak, berteriak, juga menangis dengan
kepala menengadah. Melihat dirinya di atas.
“Jimin, berhenti melakukan itu!”
Auch! Kepalanya dipukul oleh benda ringan namun
menganggetkan. Lelaki itu memegangi kepalanya. Menoleh ke belakang dengan
cepat. Orang ini mengganggu saja!
“Hyung!”
Jimin memicingkan mata, menatap kesal laki-laki
yang tengah balik menatapnya. Gulungan kertas jadwal kegiatan mereka hari ini
yang digunakan untuk memukul kepalanya barusan, tetap berada di tangan Mr.
Leader.
Jimin menatap tajam gulungan kertas itu. Tak
peduli dan kembali pada kaca jendela besar, menyapa orang-orang di bawah. Oh lihat,
mereka semakin histeris ketika Namjoon datang.
“Sudah kubilang hentikan itu!” Namjoon memukulnya
lagi. Memangnya dia salah apa sih?
“Apa yang salah denganmu hyung? Berhenti
memukul ku!” Jimin balas memukul pinggang Namjoon. Laki-laki ini marah.
“Jangan melambai seperti itu. Kau seperti orang
yang kurang perhatian saja.” Namjoon duduk di samping Jimin. Membuka gulungan
kertas di tangannya.
“Bukankah tugas kita memang membuat perhatian?
Apa salahnya dengan itu. Mereka datang kemari untuk melihat kita, kalau kita
diam saja dan tidak menampakkan batang hidung, itu sama saja dengan mengecewakan
ARMY. Mereka ingin bertemu kita bertujuh.” kata Jimin.
Namjoon terdiam, merenungi kalimat panjang
Jimin. Kata-kata anak itu ada benarnya.
Aish, anak ini membuat semua hal-hal yang
dipikirkannya selama perjalanan kemari menjadi hancur berkeping-keping.
Ya. Mereka berada di gedung besar ini memang
untuk menarik perhatian banyak orang di Korea Selatan dengan bakat mereka. Bukan
hanya negara ini, seluruh dunia harus mereka rambahi. Tapi....
Ini hanya hasil pemikirannya saja. ‘Apakah
mereka selama ini berlebihan?’
Dia baru saja membaca komentar dan postingan
dari sebuah grup di media sosial yang tanda kutip: tidak menyukai mereka.
Menurut sudut pandang dirinya sendiri, dia telah berusaha menguras tenaga,
melakukan apa yang dia bisa untuk menyenangkan orang lain. Memberi semangat
dengan lagu mereka.
Tapi, menurut sudut pandang orang-orang itu
sangatlah berbeda. Kumpulan orang yang tergabung dalam grup itu menjelek-jelekkan
mereka. Mengatakan hal buruk mengenai dunia hiburan. Hanya ada hitam tanpa ada
putih dalam semua percakapan diakun media sosial itu.
Mata hatinya terbuka ketika mendengar semua
penuturan berupa cacian dan olokan.
Tidak hanya mereka yang jadi bahan pembicaraan.
Beberapa publik fugure pun tak luput dari obrolan tak bermakna itu.
Berkat kata-kata luar biasa di kedai ramen dan
teobokki, membuatnya tidak hanya mencari cara untuk terus maju. Tapi juga cara
untuk memperbaiki diri sendiri. Ia tidak boleh terus menutup mata dan
bersenang-senang menikmati hujan pujian dan kata cinta. Keluar dari zona nyaman
dan sesekali melirik jurang serta mencoba melewatinya adalah hal yang harus ia
lakukan.
Dan itulah yang dipikirkannya selama berjalan
menuju tempat duduk di samping Jimin.
Ia akan menambahkan dan menggabung kalimat
Jimin dengan persepsinya.
Clear. Otaknya telah menyimpan berkas berharga
itu.
“Jimin.”
“Hum?”
“You got no jams, right!”
“Maksutmu apa sih hyung? Aneh,” Jimin tertawa.
*****
@Studio Photograph and Printing Office. 10.00
KST
“Hey, editor yang lain mana?”
“Yoon, aku butuh staples!”
“Jangan nyenggol-nyenggol dong!”
“Aduh, tintanya bocor! Yang di sana, tolong
belikan tinta yang baru! Cepat!”
Ramai dan riuh, kegiatan sehari-hari kantor
percetakan besar itu. Namanya juga perusahaan terkenal, banyak orderan dan juga
permintaan pelanggan yang menumpuk. Gadis dengan binnie merah maroon di kepala
menunjuk dirinya sendiri, seorang wanita berambut acak-acakan yang berdiri tak
jauh darinya juga tengah menunjukknya.
“Iya, kau. Siapa lagi yang tidak sibuk di sini
selain dirimu? Cepat belikan tinta kertas di toko Hanjeo, jika sampai di sana,
katakan atas nama perusahaan ini. Aku akan menelepon reparasi.” wanita itu
mulai menempelkan ponsel ke telinga, mengisyarat kata ‘pergilah, secepatnya’
dengan sekali kibasan tangan.
“Ba-baik sunbaenim.” Gadis itu menyelampang tas
dan menggantung kembali camera berbelalai panjang di lehernya. Pamit pergi
sebentar pada editor yang tadi bicara dengannya.
Sepeninggal gadis itu, wanita tadi sempat
melotot pada si pria editor yang tersisa di ruangan itu.
“Kerjakan dengan benar tugasmu!” bentaknya.
“Kau juga, kenapa menyuruhnya? Dia hanya
seorang fotografer.”
“Ups, benarkah? Kukira karyawan di sini. Eh,
bukankah tadi fotografer Lee?”
Gadis
itu─Tifa, mengayuh sepedanya menyusuri jalur pesepeda. Menoleh ke kanan dan
kiri sisi jalan. Cafe, distro, supermarket, cafe lagi, distro lagi. Pertokoan
seperti itu yang dilihatnya selama mengayuh sepeda hampir 5 menit perjalanan. Dia
bukannya tidak tahu letak toko yang disebutkan wanita tadi. Hanya saja,
letaknya terlalu jauh dari kantor. Bukankah itu keterlaluan? Menyuruh orang
yang bukan pekerja di kantor itu untuk membelikan tinta secara mendadak.
Mungkin dia terlalu sibuk hingga lupa wajah rekan kerjanya sendiri.
“Aku lupa tidak minta uang pada nona Min.” Ia
memukul pelan kepalanya. Nona Min─nama wanita tadi, bagaimana ia akan beli
tinta kalau dia tidak bawa uang?
Sampai dipersimpangan, ia berbelok ke kanan.
Menemukan keramaian di ujung sana. Hampir saja lupa, gedung pencakar langit itu
memang selalu ramai, dan ia tahu alasannya apa.
“Aish, orang-orang ini menutup jalan saja.”
gerutunya. Lihat saja, jalur sepeda tertutup oleh entah berapa orang, ratusan
mungkin. Mereka berteriak-teriak heboh, seperti orang kerasukan dengan wajah
menatap ke atas pada sebuah jendela.
“Permisi!” bodoh sekali membunyikan bel sepeda
pada mereka. Orang-orang yang hampir keseluruhan adalah gadis remaja ini hanya
melirik lalu kembali berteriak.
Tifa merengut, menggigit gigi-giginya sendiri
dengan kesal. Apa yang sedang mereka lihat? Ia ikut mengangkat wajah, mencari
sesuatu yang telah membuat kerumunan para manusia ini begitu... Histeris.
Ia mengerti sekarang.
Mereka semua tengah melihat tingkah polah dua
orang di atas, di salah satu jendela yang tak terlalu tinggi, sehingga dua
orang itu cukup jelas penampakannya. Salah satu pria berambut oranye menggelikan
tengah melambai ke bawah pada mereka, sedang satunya berambut merah muda, atau
entahlah, hanya melihat pada pusat yang sama tanpa melakukan apa-apa.
“Itu pasti mereka.” gumam Tifa. Nada suaranya
terdengar tidak suka.
Ia mengangkat kamera, menjadikan kerumunan juga
jendela dengan dua orang pria fotogenik di atas sebagai titik fokus lensa
kamera. Objek yang menarik.
“Ini adalah fenomena. Sekumpulan orang tanpa
harapan.”
─Ceklik─
Sekali lagi. Memperlihatkan lebih jelas wajah
kedua pria itu dengan fitur pembesar gambar pada kamera. Pria berambut merah
muda secara kebetulan tepat menatap pada lensanya.
“Tunggu, orang itu?”
─Ceklik─
“Sial Jim!”
“Kau sedang marah padaku?”
“Bukan! Ah, maafkan aku. Sial, sial, sial.”
“Hyung, berhenti mengumpat! Kau sangat aneh
hari ini.” Jimin tidak berhenti tertawa.
Laki-laki itu langsung beranjak dari tempat
duduk, menjauh dari Jimin juga dari jendela, hanya karena sebuah kamera yang
berhasil membidik mereka. Ia telah melihat pemandangan abstrak di bawah, di
antara kerumunan para penggemar. Di bawah sana banyak kamera teracung, tapi
yang satu ini sungguh berbeda. Yang membuatnya berbeda adalah si pembidik. Ia
hapal dan tahu betul bentuk fisiknya─orang yang dia kenal.
“Jangan sekarang, jangan sekarang.”
Gadis itu belum boleh tahu siapa dirinya.
To Be Continued
Sorry kalo makin banyak kata-kata yang bikin, nyesss....
Maklumi aja yah, imajinasi author lagi labil soalnya, Coment and dont plagiat, oke??
Sorry kalo makin banyak kata-kata yang bikin, nyesss....
Maklumi aja yah, imajinasi author lagi labil soalnya, Coment and dont plagiat, oke??
0 komentar:
Posting Komentar